JATIMTIMES - Pemerintah dan DPR menggelar rapat untuk percepatan pembahasan Revisi Undang-undang (RUU) TNI di Hotel Fairmont Jakarta sejak Jumat 14 Maret 2025. RUU itu tengah menjadi sorotan publik dan menuai kritikan. Pembahasan yang digelar tertutup memicu respons koalisi masyarakat sipil dari sejumlah organisasi.
Sabtu (15/3/2025), di tengah rapat pembahasan RUU itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan berupaya menyampaikan protes dan menghentikan rapat. Namun, upaya tersebut dihalangi.
Baca Juga : Grand Mercure Malang Mirama Gelar Lomba Dai Cilik, Wadahi Bakat Anak di Bulan Ramadan
Mereka menilai bahwa pembahasan yang tak memenuhi unsur keterwakilan publik terkesan buru-buru dan menyakiti hati rakyat karena dampak yang dikhawatirkan.
"Padahal sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir mengaku RUU TNI tidak akan disahkan sebelum masa reses Lebaran 2025. Pengesahan RUU TNI baru bisa dilakukan paling cepat pada masa persidangan berikutnya. Di tengah sorotan publik terhadap revisi Undang-Undang TNI, Pemerintah dan DPR justru memilih membahas RUU ini secara tertutup di hotel mewah pada akhir pekan," ungkap Perwakilan Imparsial Ardi Manto Adiputra Imparsial dalam keterangan rilis oers yang diterima JatimTIMES, Minggu (16/3/2025).
Pihaknya dari koalisi memandang langkah DPR dan Pemerintah sebagai bentuk dari rendahnya komitmen terhadap transparansi dan partisipasi publik dalam penyusunan regulasi yang berdampak luas terhadap tata kelola pertahanan negara.
Ardi mengatakan, secara substansi, RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang mengancam demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia. Selain itu, agenda revisi UU TNI justru akan melemahkan profesionalisme militer itu sendiri dan sangat berpotensi mengembalikan Dwifungsi TNI dimana militer aktif akan dapat menduduki jabatan-jabatan sipil.
"Perluasan penempatan TNI aktif di jabatan sipil, tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah, seperti eksklusi sipil dari jabatan sipil, menguatkan dominasi militer di ranah sipil dan pembuatan kebijakan, dan loyalitas ganda," rincinya.
Selain itu, pembahasa RUU TNI yang dikebut di hotel mewah dianggap bertentangan dengan kebijakan efisiensi anggaran yang sedang didorong oleh pemerintah. Yakni pemerintah Indonesia sedang mendorong penghematan belanja negara, bahkan mengurangi alokasi dana untuk sektor-sektor penting, termasuk pendidikan dan kesehatan.
"Ironisnya, di saat yang sama, DPR dan pemerintah justru menggelar pembahasan RUU TNI di hotel mewah, yang tentunya menghabiskan anggaran negara dalam jumlah besar. Hal ini merupakan bentuk pemborosan dan pengkhianatan terhadap prinsip keadilan dan demokrasi," jelas dia.
Baca Juga : Polsek Pakel Tulungagung Sampaikan Pentingnya Jaga Kamtibas di Bulan Ramadan, Larang SOTR Berlebihan
Pihaknya menolak draf RUU TNI maupun DIM RUU TNI yang disampaikan Pemerintah ke DPR karena mengandung pasal-pasal bermasalah dan berpotensi mengembalikan dwi-fungsi TNI dan militerisme di Indonesia.
"Kami juga mengecam keras pelaksanaan pembahasan revisi UU TNI yang dilakukan secara diam-diam dan minim transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik. Maka harus dihentikan, karena menyakiti rasa keadilan rakyat Indonesia," tandasnya.
Untuk diketahui, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari sejumlah organisasi. Di antaranya Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute.
Selain itu, juga Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, De Jure.