Perjanjian 22 Juni 1830: Saat Pakubuwana VII Menyerahkan Mancanegara
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Yunan Helmy
30 - May - 2025, 03:40
JATIMTIMES - Pada pagi yang terik di tanggal 22 Juni 1830, di tengah bayang-bayang reruntuhan Perang Jawa dan kemelut politik internal Keraton Kasunanan Surakarta, Susuhunan Pakubuwana VII melangkah masuk ke kediaman residen Belanda. Ia didampingi oleh Panembahan Buminata dan segenap pangeran darah biru.
Di tangannya, tak hanya tergenggam masa depan takhta Mataram-Surakarta, tetapi juga sebentuk penyerahan kedaulatan: sebuah naskah perjanjian yang kelak dikenal dalam historiografi kolonial sebagai “Akte Penyerahan Mancanegara”. Perjanjian ini bukan hanya sebuah persetujuan administratif antara dua kekuasaan yang tidak seimbang. Ia adalah sebuah tanda zaman, simbol dari rekayasa kolonial pasca-perang, dan manifestasi dari diplomasi pena yang lebih tajam dari keris.
Baca Juga : Pernikahan Impian di Grand Mercure Malang Mirama, Banyak Benefit lewat Gavya Wedding Corner
Penandatanganan perjanjian ini tidak dapat dilepaskan dari runtutan peristiwa panjang sejak pecahnya Perang Jawa (1825–1830), yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan mengguncang basis kekuasaan kolonial di Jawa bagian tengah dan timur. Setelah perang berakhir dengan penangkapan Diponegoro di Magelang pada 28 Maret 1830, Belanda melanjutkan proyek rekonstruksi politik Jawa dengan taktik “mengamankan pusat kekuasaan” para raja.
Pakubuwana VI, raja yang sebelumnya bertakhta, dianggap terlibat dalam pemberontakan, baik secara langsung maupun melalui afiliasi spiritual dengan Diponegoro. Ia dikenal melakukan meditasi dan kontak spiritual dengan Kanjeng Ratu Kidul di Pantai Selatan Mancingan, dalam rangka memperoleh petunjuk gaib melawan penyelesaian kolonial yang menghina martabatnya. Namun, tindakan-tindakan simbolik ini terbukti tidak cukup. Setelah ditolak permohonannya oleh Residen Yogyakarta J.F.W. van Nes dan Letnan Kolonel Sollewijn, posisi Pakubuwana VI makin terpojok hingga akhirnya dilengserkan.
Suksesi, Diplomasi, dan Ritus Penyerahan
Setelah pelengseran Pakubuwana VI pada 8 Juni 1830, satu pertanyaan mendesak menggema di seantero Surakarta: siapa yang akan naik takhta? Nama Pangeran Purbaya, putra Pakubuwana IV, kembali muncul ke permukaan. Ia sebelumnya telah diusulkan sebagai kandidat pengganti di tengah gejolak perang. Panembahan Buminata, saudaranya, juga memiliki klaim darah atas mahkota. Situasi ini menempatkan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch dan para komisarisnya, termasuk J.H. Merkus dan L. Nahuys, dalam dilema...