Madura Sebelum Meledak: Sketsa Awal Pemberontakan Trunajaya (1670–1672)
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
A Yahya
09 - May - 2025, 08:51
JATIMTIMES - Tahun-tahun menjelang meletusnya pemberontakan besar Raden Trunajaya terhadap Kesultanan Mataram menyimpan narasi yang kompleks dan penuh intrik politik. Di balik retorika pemberontakan dan kehancuran kerajaan, terdapat satu fase penting yang menjadi titik pijak kekuatan Trunajaya: kepindahannya ke Madura antara tahun 1670 hingga 1672.
Masa transisi ini menjadi momen krusial dalam konsolidasi kekuasaan dan pembentukan jaringan patronase lokal yang kelak menjelma menjadi kekuatan militer dan politik menakutkan di tanah Jawa. Artikel ini membedah fase tersebut secara historis dan historiografis, menelusuri sumber primer dari Daghregister, arsip Kolonial Belanda, hingga laporan rahasia dan babad lokal.
Baca Juga : Prabu Sri Suhita: Raja Wanita Tangguh di Tengah Kekacauan Majapahit
Raden Trunajaya: Anak Pembuangan, Darah Madura, dan Cita-Cita Tertindas
Raden Trunajaya, tokoh muda keturunan Cakraningrat I, berasal dari garis keturunan bangsawan Madura yang telah dikucilkan dari tahta. Ayahnya, Raden Demang Melaya—putra Raden Prasena alias Cakraningrat I—tewas dalam konflik istana. Trunajaya kecil hidup dalam pelarian dan pengawasan. Ketika remaja, ia menjalin hubungan rahasia dengan putri pamannya yang membuatnya terancam hukum adat. Perlindungan dari rakyat Madura dan simpati dari pengikutnya membawanya ke pengasingan yang lebih tinggi: ke lingkungan istana putra mahkota Mataram, Raden Mas Rahmat.
Di sini, permainan politik halus terjadi. Para abdi putra mahkota, yang telah disuap oleh Cakraningrat, membiarkan Trunajaya masuk ke dalam orbit kekuasaan. Namun bukan Raden Rahmat yang pertama menyadari potensi pemuda ini, melainkan Raden Kajoran. Kajoran, dengan indra mistiknya, mengangkat Trunajaya sebagai menantu dan mempersiapkannya menjadi pion utama dalam takdir sejarah yang baru.
Babad dan Serat Kandha menggambarkan momentum historis ketika Kajoran memperkenalkan menantunya kepada sang putra mahkota. Narasi ini penting, karena ia bukan sekadar temu muka politis, melainkan konvergensi antara agenda spiritual, balas dendam politik, dan kalkulasi masa depan dinasti...