Ketika Wali Memimpin Politik: Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Konflik Jipang–Pajang
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
A Yahya
06 - May - 2025, 08:28
JATIMTIMES - Dalam historiografi Jawa, persaingan politik tidak bisa dilepaskan dari peran para tokoh spiritual. Keberadaan para wali dan ulama besar pada abad XVI tidak hanya sebagai pembimbing rohani, tetapi juga sebagai aktor politik yang berpengaruh dalam pergolakan kekuasaan di Jawa.
Salah satu periode yang mencerminkan keterlibatan langsung tokoh-tokoh keramat ini adalah masa transisi antara Kesultanan Demak, Jipang, dan Pajang, di mana Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga memainkan peran penting dalam mengarahkan nasib murid-murid mereka, termasuk Aria Panangsang dan Jaka Tingkir.
Persaingan Dua Guru Besar: Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga
Baca Juga : Diskusi Hari Kebebasan Pers Dunia, AJI Malang & Ilkom UM Soroti Relasi Kuasa dan Tantangan Jurnalisme
Pada masa itu, dua tokoh spiritual utama yang memiliki pengaruh luas adalah Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga. Sunan Kudus, dengan basisnya di Kudus, memiliki banyak pengikut, termasuk Pangeran Aria Panangsang dari Jipang, Sunan Prawata, dan Jaka Tingkir, yang kelak menjadi Sultan Pajang. Sementara itu, Sunan Kalijaga, yang kemungkinan berasal dari Cirebon, memiliki pengikut yang lebih terbatas, tetapi tetap memiliki pengaruh besar dalam dinamika politik pada masa itu.
Perbedaan antara kedua tokoh ini tidak hanya terletak pada ajaran yang mereka bawa, tetapi juga pada orientasi politik mereka. Sunan Kudus lebih dekat dengan para penguasa yang berasal dari Demak dan Jipang, sementara Sunan Kalijaga memiliki hubungan dengan lingkaran kekuasaan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Hubungan antara keduanya juga tampaknya dipenuhi ketegangan, terutama ketika beberapa murid Sunan Kudus, termasuk Sunan Prawata dan Jaka Tingkir, mulai menunjukkan kedekatan dengan Sunan Kalijaga.
Intrik Politik dan Pembunuhan Sunan Prawata
Ketegangan antara kedua kelompok ini mencapai puncaknya ketika Sunan Kudus mempertanyakan kesetiaan murid-muridnya. Menurut Babad Tanah Djawi, dalam sebuah perbincangan dengan Pangeran Aria Panangsang, Sunan Kudus bertanya tentang hukuman bagi seseorang yang memiliki dua guru sekaligus. Aria Panangsang menjawab bahwa hukumannya adalah mati, tetapi ia tidak mengetahui siapa yang dimaksud. Sunan Kudus kemudian dengan tegas menyebut bahwa orang yang berbuat demikian adalah kakaknya, Sunan Prawata...