Haul Eyang Djugo: Titik Temu Doa, Budaya, dan Ekonomi di Kesamben Blitar
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Nurlayla Ratri
05 - May - 2025, 01:53
JATIMTIMES - Di kaki Gunung Kawi yang sejuk dan berkabut, ratusan warga berkumpul dalam balutan suasana khidmat. Minggu pagi, 4 Mei 2025, Desa Jugo, Kecamatan Kesamben, kembali menjadi saksi napak tilas spiritualitas dan budaya dalam Haul Eyang Djugo ke-155. Bertempat di Padepokan Eyang Djugo, gelaran ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan pengikat nilai-nilai luhur yang diwariskan seorang tokoh besar: Eyang Djugo.
Pemerintah Desa Jugo menggandeng seluruh elemen masyarakat untuk menyukseskan acara tersebut. Tak hanya warga lokal, para peziarah dari berbagai daerah turut hadir. Aroma dupa dan doa-doa tahlil menyatu dalam suasana hening yang nyaris mistis. Di tengah keramaian itu, Bupati Blitar Rijanto berdiri dengan penuh penghormatan. Dalam sambutannya, ia menekankan bahwa haul ini bukan hanya tradisi spiritual, melainkan juga pengingat akan jati diri dan kearifan lokal.
Baca Juga : Punya 3 Fadilah, Surat Ini Sangat Dianjurkan Diamalkan Ibu Hamil
Menurut Rijanto, Eyang Djugo mengajarkan nilai-nilai gotong royong, kesederhanaan, dan keimanan yang kokoh. “Kegiatan seperti ini menguatkan ikatan sosial sekaligus menjadi wadah pelestarian budaya,” ujar Bupati. Ia menambahkan, antusiasme warga dan para peziarah juga memberi dampak ekonomi positif bagi desa. Warung makan dan para pedagang kaki lima di sekitar padepokan tampak ramai sejak pagi hari.
Lebih dari sekadar peringatan, haul ini juga merupakan refleksi panjang atas perjalanan hidup seorang tokoh spiritual yang misterius namun amat dihormati. Eyang Djugo, yang memiliki nama asli R.M. Soerjokoesoemo—juga dikenal sebagai Kiai Zakaria II atau Mbah Kromodi Redjo—adalah bekas pengawal Pangeran Diponegoro. Pasca kekalahan dalam Perang Jawa, ia menanggalkan identitas kebangsawanannya dan memilih jalan sunyi sebagai seorang pertapa.
Sejarah mencatat, ia pertama kali muncul di Desa Jugo dengan cara yang tak biasa: menjelma di hadapan para penggembala dan tinggal di sebuah kandang sapi kosong. Dari sana, ia menyebarkan ajaran spiritual, menyembuhkan penyakit, dan membangun pusat pembelajaran spiritual. Dalam upaya menghindari kejaran Belanda, ia mengubah namanya menjadi Djugo—berasal dari kata Jawa "sajugo", yang berarti sendiri.
Kisah penyembuhannya selama wabah kolera di Jawa Timur pada 1860-an menjadi legenda yang tak lekang. Sejarawan lokal, Khalid Adnan, menyebut bahwa metode penyembuhan Eyang Djugo dengan doa dan air berkah masih menjadi tradisi di kalangan masyarakat sekitar...