KPH Gondosuputro dan Legiun Mangkunegaran: Menumpas Gerakan Imam Sampurno di Tawangmangu 1888
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Dede Nana
28 - Apr - 2025, 08:47
JATIMTIMES - Dalam deretan sejarah Jawa abad ke-19, nama Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Gondosuputro tercatat sebagai salah satu figur utama dalam menjaga ketertiban di wilayah Jawa Tengah, khususnya di Kadipaten Mangkunegaran, sebuah kerajaan kecil pecahan Keraton Kasunanan Surakarta. Pada masa pemerintahan Mangkunegara V (1853–1896), krisis keamanan sempat mengguncang Kadipaten akibat kemunculan gerakan ekstremis keagamaan yang dipimpin oleh sosok kharismatik bernama Imam Sampurno.
Insiden yang terjadi pada tahun 1888 ini menjadi salah satu ujian terbesar bagi Legiun Mangkunegaran—institusi militer yang didirikan sejak masa Mangkunegara II pada 1808—dalam mempertahankan stabilitas politik dan sosial di wilayah kekuasaan Pura Mangkunegaran.
Baca Juga : Kediri dalam Lintasan Sejarah: Dari Airlangga hingga Amangkurat III
Penumpasan gerakan ini bukan hanya sebuah operasi militer, melainkan juga menggambarkan dinamika internal masyarakat Jawa pada masa transisi modernisasi kolonial. Gerakan ekstrem Imam Sampurno memperlihatkan betapa agama, karisma, dan kekuasaan lokal berkelindan menjadi kekuatan disruptif yang, jika tidak segera ditangani, dapat meruntuhkan struktur tradisional yang telah dibangun selama lebih dari satu abad.
Iman Rejo: Dari Santri Desa Menjadi Imam Sampurno
Sosok Imam Sampurno, yang menjadi pusat gerakan ini, lahir dengan nama Iman Rejo. Ia merupakan putra Reksowijoyo, seorang kamituwa (kepala administrasi) Desa Klanggon. Masa kecilnya dilalui sebagai santri di pesantren desa yang diasuh oleh Haji Mohammad Saleh. Pendidikan agama ini, disertai dengan pencarian spiritual mendalam, membentuk dasar ideologi keagamaannya.
Setelah menikahi cucu Suronggono, demang Gedangan, Iman Rejo pindah ke Girilayu. Di desa ini, ia menjadi penggarap tanah milik KPH Gondosuputro sekaligus menjabat sebagai ketib atau pemuka agama desa. Status sosial keagamaannya pun meningkat, seiring dengan reputasinya sebagai seorang alim. Namun, obsesi spiritualnya berkembang melampaui batas-batas ortodoksi.
Dalam perjalanan spiritualnya, Iman Rejo sempat mengembara ke Ngawi selama enam bulan untuk memperdalam ilmu agama dan melakukan tapa brata di Alas Tuwo. Ketika kembali ke Girilayu, ia tampil dengan identitas baru: berjubah dan bersurban putih. Semangat dakwahnya meluas, menarik simpati banyak penduduk dari desa-desa sekitar Karanganyar...