Pusaka, Jimat, dan Takhta: Dinamika Perlawanan Semi-Terbuka di Yogyakarta 1830–1865
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Nurlayla Ratri
17 - Apr - 2025, 06:51
JATIMTIMES - Setelah berakhirnya Perang Jawa pada 1830, banyak yang mengira bahwa perlawanan terhadap kekuasaan kolonial di Jawa telah berakhir. Namun, kenyataan berkata lain. Gerakan-gerakan perlawanan, baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun dalam bentuk konspirasi rahasia, terus berlanjut di berbagai daerah, termasuk di Kepangeranan Yogyakarta.
Artikel ini akan mengupas berbagai gerakan semiperiferal yang muncul di Yogyakarta setelah 1830 dengan merangkum da beragam sumber. Dari upaya bangkitnya kembali pengikut Diponegoro, klaim-klaim takhta oleh tokoh-tokoh misterius, hingga konspirasi politik yang melibatkan para bangsawan dan elite keraton. Sejarah mencatat bahwa meskipun Belanda telah menguasai Jawa, api perlawanan tidak pernah benar-benar padam.
Munculnya Gerakan-Perlawanan Baru
Baca Juga : Megatron Resmi Perkuat GPPI, Peluang Juara Proliga 2025 di Depan Mata
Tidak lama setelah Perang Jawa berakhir, muncul berbagai gerakan yang masih berakar pada jaringan pengikut Pangeran Diponegoro. Pada Maret 1831, sebuah konspirasi terungkap di Bagelen, melibatkan mantan sekutu pemimpin-pemimpin pemberontakan.
Salah satu yang tertangkap adalah Jayasena, seorang bekas prajurit Diponegoro yang kedapatan membagikan jimat kepada masyarakat. Jimat itu diyakini memiliki kekuatan magis dan menjadi simbol harapan bahwa Diponegoro akan kembali untuk memimpin perlawanan baru.
Ketika diinterogasi, Jayasena menyebut beberapa nama besar seperti Raden Basah Gondokusuma, Mertanegara, dan Sentot Ali Basah Prawirodirdjo sebagai bagian dari gerakan ini. Namun, otoritas Belanda tampaknya enggan untuk melakukan penyelidikan lebih dalam di dalam keraton. Jayasena akhirnya dibuang ke luar Jawa selama 20 tahun, sebuah hukuman yang kerap diberikan kepada tokoh-tokoh perlawanan yang dianggap berbahaya bagi stabilitas kolonial.
Klaim Takhta dan Gerakan Mistis
Pada 1834, sebuah desas-desus beredar di Kedu bahwa seorang putra Diponegoro, yang dikenal sebagai Pangeran Diponegoro Anom, sedang membangun pengaruh di daerah tersebut. Berbeda dengan sikapnya yang sebelumnya lebih dekat dengan orang-orang Eropa, ia mulai menghindari interaksi dengan mereka, menjalani hidup sederhana, dan mengorganisasi pertemuan-pertemuan rahasia.
Konon, ia menyebarkan kabar bahwa Diponegoro dan Sentot akan kembali ke Jawa untuk melanjutkan perjuangan. Kabar ini menimbulkan kegelisahan di kalangan penguasa kolonial...