Gerakan Periferal di Surakarta: Dari Bagus Jedik hingga Kecu, Jejak Perlawanan Rakyat Pasca-Perang Jawa
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Yunan Helmy
12 - Apr - 2025, 09:07
JATIMTIMES - Di tengah lanskap politik dan sosial Kepangeranan Surakarta pada abad ke-19, muncul berbagai gerakan perlawanan yang bersifat lokal, spontan, dan sering mesianis.
Gerakan-gerakan ini mencerminkan pergolakan sosial akibat sistem kolonial yang semakin menekan kehidupan masyarakat Jawa. Perlawanan ini tidak selalu berbentuk pemberontakan bersenjata yang terorganisasi seperti Perang Diponegoro (1825–1830), tetapi lebih sering berupa ekspresi ketidakpuasan rakyat melalui tindakan simbolis, pengklaiman kekuatan supranatural, hingga tindakan kriminal yang bermuatan politis.
Baca Juga : DPU Bina Marga Jatim Normalisasi Lereng Terdampak Longsor di Jalur Pacet-Cangar Mojokerto
Artikel ini akan menyoroti berbagai gerakan periferal yang terjadi di sekitar Surakarta antara tahun 1839 hingga 1870-an —mulai dari aksi telanjang Bagus Jedik dan Raden Lara, fenomena mesianis Damar Jati, hingga maraknya gerombolan perampok atau kecu yang kerap dikaitkan dengan ketidakadilan sosial. Ragam gerakan rakyat ini menunjukkan bahwa Surakarta menjadi salah satu basis penting perlawanan rakyat pasca-Perang Diponegoro.
Bagus Jedik dan Raden Lara: Sebuah Pemberontakan Mistis? (1839)
Pada tahun 1839, seorang pria Jawa bernama Bagus Jedik bersama istrinya, Raden Lara, menggegerkan wilayah Solo. Keduanya, bersama para pengikutnya, berkeliaran dalam keadaan telanjang bulat di sekitar kota, sebuah tindakan yang dalam kacamata masyarakat Jawa saat itu bisa jadi merupakan bentuk protes terhadap struktur sosial yang menindas atau ekspresi spiritual yang ekstrem.
Gerakan mereka berujung pada tindakan represif pemerintah kolonial. Bagus Jedik dan istrinya dianggap sebagai orang gila dan dikirim ke Batavia untuk “dirawat,” sebuah tindakan yang sering digunakan untuk mengasingkan para pembangkang politik. Sementara itu, delapan belas pengikutnya dibuang ke Banda, salah satu lokasi pembuangan politik utama pada masa itu.
Pada tahun yang sama, dua orang lainnya -Gusti dan Raden Nata Kusuma- juga ditangkap dan diasingkan karena mengklaim memiliki kekuatan supranatural dan berusaha membangkitkan pemberontakan di kalangan rakyat. Peristiwa ini mencerminkan bagaimana resistensi terhadap kolonialisme sering bercampur dengan kepercayaan mistis dan harapan akan datangnya seorang ratu adil yang akan membebaskan rakyat dari penderitaan...