Kisah Pramodhawardhani, Putri Mahkota yang Menikah Beda Agama dalam Sejarah Borobudur
Reporter
Desi Kris
Editor
Yunan Helmy
08 - Jun - 2022, 05:35
JATIMTIMES - Candi Borobudur belakangan ramai diperbincangkan. Hal itu karena pemerinta merencanakan kenaikan harga tiket menjadi Rp 750 ribu.
Namun, kini rencana tersebut ditunda setelah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan bertemu.
Berbicara soal Candi Borobudur, banyak kisah menarik di baliknya yang perlu diketahui. Salah satunya yaitu tentang kisah Pramodawardhani yang merupakan putri mahkota Wangsa Sailendra. Kala itu, Pramodawardhani menjadi permaisuri Rakai Pikatan, raja keenam Kerajaan Medang periode Jawa Tengah sekitar tahun 840.
Nama Pramodawardhani ditemukan dalam Prasasti Kayumwungan tanggal 26 Maret 824 sebagai putri Maharaja Samaratungga. Menurut prasasti tersebut, maharaja meresmikan sebuah bangunan Jinalaya bertingkat-tingkat yang sangat indah. Bangunan itu ditafsirkan sebagai Candi Borobudur.
Sementara, Prasasti Tri Tepusan tanggal 11 November 842 menyebutkan adanya tokoh bergelar Sri Kahulunan yang membebaskan pajak beberapa desa agar penduduknya ikut serta merawat Kamulan Bhumisambhara (nama asli Candi Borobudur).
Sejarawan Dr De Casparis menafsirkan istilah Sri Kahulunan dengan 'permaisuri', yaitu Pramodawardhani. Sebab, kala itu Rakai Pikatan diperkirakan sudah menjadi raja.
Pendapat lain disampaikan Drs Boechari yang menafsirkan Sri Kahulunan sebagai ibu suri. Misalnya, dalam Mahabharata, tokoh Yudhisthira memanggil ibunya, yaitu Kunti, dengan sebutan Sri Kahulunan.
Jadi, menurut versi ini, tokoh Sri Kahulunan bukanlah sosok Pramodawardhani, melainkan ibunya, yaitu istri Samaratungga.
Rakai Pikatan sendiri merupakan raja keenam Kerajaan Medang menurut Prasasti Mantyasih. Dari Prasasti Wantil, diketahui bahwa Rakai Pikatan menganut agama Hindu Siwa dan menikah dengan seorang putri beragama Buddha. Mayoritas sejarawan sepakat bahwa putri yang dimaksud adalah Pramodawardhani.
Perkawinan Pramodhawardani dengan Rakai Pikatan disebut-sebut sebagai momen bersatunya dua keluarga besar yang sebelumnya berseteru. Penyatuan dua wangsa tersebut tentu berdampak positif terhadap toleransi beragama antara pemeluk Buddha dan Hindu di Jawa kala itu.
Seperti diketahui, saat itu agama Buddha masih lebih dominan pada dekade awal abad ke-7...