JATIMTIMES - Di banyak tragedi alam seperti halnya peristiwa longsor yang banyak terjadi belakangan, ada satu pertanyaan yang berulang muncul di tengah duka: apakah mereka yang wafat akibat bencana, seperti longsor, mendapat derajat syahid?. Pertanyaan itu bukan sekadar soal hukum, tetapi juga tentang harapan, tentang bagaimana agama memuliakan mereka yang pergi dalam keadaan penuh ujian.
Syahid sendiri, secara bahasa, berarti saksi. Namun dalam pandangan agama, istilah ini merujuk pada seseorang yang wafat dengan kehormatan khusus di sisi Allah karena perjuangan, kesabaran, atau musibah berat yang menimpanya. Dai lulusan Al-Ahgaff University Yaman, Ustaz Ali Lubis Al-Mandili, menguraikan adanya tiga tingkatan syahid: mereka yang syahid di dunia dan akhirat, mereka yang hanya syahid di dunia, dan mereka yang mendapat derajat syahid di akhirat saja. Pembagian ini bukan soal simbolis, tetapi menentukan cara perlakuan jenazah di dunia sekaligus pahala yang diterima kelak.
Baca Juga : Jangan Salah Isi! Begini Langkah Tepat Mengisi Profil SSCASN dan Trik Lolos Administrasi CPNS 2026
Golongan pertama adalah mereka yang gugur saat menghadapi musuh dalam peperangan dengan niat yang benar. Mereka bisa laki-laki atau perempuan, hamba sahaya maupun merdeka. Bahkan kematian yang terjadi akibat senjata sendiri yang meleset, terkena panah yang kembali, atau wafat pasca pertempuran tanpa ditemukan luka pun termasuk dalam kelompok ini. Status mereka sama: gugur dengan kemuliaan penuh di dunia dan akhirat.
Kategori kedua adalah mereka yang wafat di medan tempur tetapi tidak membawa niat yang lurus. Misalnya orang yang berperang demi riya, atau mengambil harta rampasan perang secara tidak sah. Mereka tetap disebut syahid secara lahiriah, tetapi tidak memperoleh kemuliaan syahid di sisi Allah. Dari segi perlakuan jenazah, kelompok pertama dan kedua tidak dimandikan dan tidak dishalatkan, sebagaimana hadis Nabi SAW yang menyebut bahwa luka mereka kelak akan mengeluarkan wangi kesturi pada hari kiamat.
Sementara itu, kelompok ketiga mencakup mereka yang tidak wafat di medan perang tetapi tetap mendapat pahala syahid di akhirat. Spektrumnya luas, mulai dari korban pembunuhan zalim, orang yang meninggal karena penyakit perut, korban wabah tha’un, seseorang yang tenggelam, wafat saat bepergian jauh, perempuan yang meninggal saat melahirkan, hingga seseorang yang wafat ketika menuntut ilmu meski sedang berada di tempat tidur. Untuk golongan ini, tata cara pengurusan jenazah dilakukan sebagaimana muslim pada umumnya: dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan.
Lalu bagaimana dengan korban bencana alam seperti longsor?. Dalam literatur fikih, orang yang meninggal tertimpa reruntuhan atau benda berat termasuk kategori syahid akhirat. Dengan kata lain, walaupun perlakuan jenazah tetap mengikuti hukum umum, mereka memperoleh pahala dan kemuliaan orang yang mati syahid di sisi Allah. Syaratnya, mereka wafat dalam keadaan beriman, tidak sedang melakukan maksiat saat kejadian, dan kematiannya benar-benar karena longsor, bukan faktor lain.
Bagi keluarga, pemahaman ini menjadi penyangga duka. Islam tidak menempatkan musibah sebagai akhir yang sia-sia; justru ada penghargaan spiritual bagi mereka yang meninggal dalam cobaan berat. Namun, penghargaan tersebut tak boleh membuat manusia abai. Kewaspadaan terhadap potensi bencana, menjaga lingkungan, serta mengikuti peringatan dini tetap menjadi bagian dari ikhtiar yang harus dilakukan.
Keutamaan seorang syahid juga disampaikan dalam Kitab Ar-Ruh, sebagaimana diriwayatkan Imam Ibnu Majah dan At-Tirmidzi: dosa-dosa mereka diampuni sejak tetesan darah pertama, diperlihatkan tempat di surga, diselamatkan dari azab kubur dan dahsyatnya hari kebangkitan, dikenakan mahkota kemuliaan, disambut 72 bidadari, dan diberi kemampuan memberi syafaat bagi 70 anggota keluarganya. Deretan kemuliaan ini menjadi gambaran betapa besar penghargaan Allah kepada mereka.
Baca Juga : Buntut Polemik PBNU, Ketua PWNU Jatim Gus Kikin Ajak Seluruh Pengurus Bangun Ukhuwah
“Rasulullah Saw bersabda: Orang yang mati syahid di sisi Allah mempunyai enam keutamaan; dosanya akan diampuni sejak awal kematiannya, diperlihatkan tempat duduknya di surga, dijaga dari siksa kubur, diberi keamanan dari ketakutan yang besar saat dibangkitkan dari kubur, diberi mahkota kemuliaan yang satu permata darinya lebih baik dari dunia seisinya, dinikahkan dengan tujuh puluh dua bidadari dan diberi hak untuk memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari keluarganya” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Menariknya, meski kematian karena musibah mendapat derajat syahid, Rasulullah SAW justru memohon perlindungan agar dijauhkan dari cara kematian semacam itu. Dalam riwayat Abu al-Yasar, Nabi berdoa agar tidak wafat karena terjatuh, tertimpa bangunan, tenggelam, terbakar, tersengat hewan beracun, atau mati dalam keadaan lari dari medan perang. Hadis ini menegaskan bahwa walaupun kematian akibat bencana memiliki nilai pahala besar, ia tetap bukan cara wafat yang diharapkan.
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari tertimpa reruntuhan, aku berlindung kepada-Mu dari jatuh dari ketinggian, aku berlindung kepada-Mu dari tenggelam dan terbakar, aku berlindung kepada-Mu dari menjadi tua renta, aku berlindung kepada-Mu dari godaan setan saat menjelang kematian, aku berlindung kepada-Mu dari mati dalam keadaan lari dari medan jihad di jalan-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari mati karena gigitan hewan berbisa.”
(HR. Abu Dawud, dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani).
Pada akhirnya, korban longsor dapat digolongkan sebagai syahid akhirat jika terpenuhi syarat-syaratnya. Islam memberi ruang penghormatan bagi mereka yang gugur dalam musibah, namun tetap mengajarkan manusia untuk melindungi diri, menjaga alam, dan berikhtiar menghindari bahaya. Sebuah keseimbangan antara takdir dan usaha, antara musibah dan kemuliaan yang menunggu di sisi Allah.