JATIMTIMES - Abad ke-19 merupakan masa transisi besar di Jawa. Setelah berakhirnya Perang Jawa (1825–1830), kekuasaan Hindia Belanda semakin kuat mencengkeram wilayah-wilayah kerajaan Jawa. Namun di balik bayang-bayang kolonialisme itu, para bangsawan lokal tidak sepenuhnya kehilangan peran.
Mereka mengubah taktik: dari medan perang ke arena pemerintahan kolonial. Salah satu tokoh penting dalam masa transisi ini adalah Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Warsokusumo, Bupati Blitar (1869–1896). Ia bukan hanya birokrat kolonial, tetapi juga pewaris dua dinasti besar: Mangkunegaran dan Berbek.
Baca Juga : Dikbar Panji Bangsa di Kota Blitar: Cetak Kader Religius dan Tangguh Jaga Marwah PKB
Melalui figur Warsokusumo, kita dapat menelaah bagaimana kekuasaan lokal Jawa bertransformasi di bawah bayang-bayang kolonialisme dan bagaimana elite lokal membangun peradaban kota baru: Blitar.
Akar Genealogi: Dinasti Mangkunegaran dan Berbek
KPH Warsokusumo terlahir dengan nama Raden Mas Sumitro. Ayahnya adalah Bendara Raden Mas Mayor Aryo Suryoputro, putra dari KGPAA Mangkunegara III, penguasa Mangkunegaran yang dikenal dengan kebijakan militernya melalui Legiun Mangkunegaran. Ibunya, Raden Ayu Condrodiwati, adalah putri dari Raden Tumenggung Sosrodirejo, Bupati Berbek periode 1832–1843. Dengan demikian, Warsokusumo mewarisi dua warisan kekuasaan: tradisi militer-sipil Mangkunegaran dan kearifan lokal Berbek.
Dinasti Mangkunegaran, sejak Mangkunegara II hingga Mangkunegara III, memainkan peran strategis sebagai kekuatan perantara antara kolonial Belanda dan Keraton Surakarta. Legiun Mangkunegaran menjadi model militer modern yang mendukung stabilitas Vorstenlanden. Sementara itu, Berbek adalah daerah strategis yang, sejak masa Kanjeng Jimat Sosrokusumo, memainkan peran penting dalam integrasi wilayah Jawa Timur pasca-Perang Diponegoro.
Karier Politik dan Pernikahan sebagai Aliansi
Warsokusumo menikah tiga kali, yang masing-masing pernikahan menunjukkan kepiawaiannya dalam membangun aliansi kekuasaan. Pernikahan pertamanya dengan sepupunya sendiri, putri KPH Suryo Mataram tidak menghasilkan keturunan. Pernikahan keduanya dengan putri Bupati Srengat, RAy Sri Wulan, melahirkan KPH Sosrohadinegoro yang kelak menjadi Bupati Blitar III.
Pernikahan ketiganya sangat strategis: ia menikahi RAy Nataningrum, janda dari KGPAA Mangkunegara IV dan putri dari KPH Suryo Nataningrat. Dari pernikahan ini lahirlah RMT Warsodiningrat, Bupati Blitar IV. Dengan pernikahan ini, Warsokusumo mengukuhkan kembali ikatan darahnya dengan dinasti Mangkunegaran.
Kedua putranya melanjutkan warisan kepemimpinan: KPH Sosrohadinegoro sebagai Bupati Blitar III (1906–1917) dan RMT Warsodiningrat sebagai Bupati Blitar IV (1919–1942). Penerusannya ini menunjukkan bagaimana kekuasaan dinasti lokal mampu bertahan dan beradaptasi dalam sistem kolonial Belanda.
Konsolidasi Pemerintahan Blitar: Dari Krisis Menuju Reformasi
KPH Warsokusumo resmi dilantik sebagai Bupati Blitar pada 3 Mei 1869, menggantikan Raden Tumenggung Ario Ronggo Hadi Negoro—figur kontroversial yang selama hampir dua dekade kepemimpinannya dikenal sebagai penguasa korup sekaligus patron bandit pedesaan.
Masa kepemimpinan Hadi Negoro (1851–1869) menorehkan catatan kelam dalam sejarah Blitar: skandal perbudakan desa, manipulasi jabatan kepala desa, dan kolusi dengan jaringan jago desa, semua bersemayam di balik kemegahan Pendopo yang kelak dibangun oleh Warsokusumo dan kini ironisnya menyandang nama sang koruptor.
Saat KPH Warsokusumo dilantik sebagai regent pada 3 Mei 1869, Blitar masih merupakan kabupaten baru di wilayah Jawa Timur—dibentuk pasca-Perjanjian Sepreh 1830 sebagai pengganti Kabupaten Srengat yang dihapus oleh Pemerintah Hindia Belanda karena menolak tunduk pada integrasi kekuasaan kolonial. Sejak lepas dari kekuasaan Kasunanan Surakarta pada akhir 1830, wilayah ini dilanda krisis legitimasi politik dan kerusakan administratif pascaperang, serta bayang-bayang kekuasaan feodal lokal yang korup.
Kabupaten Blitar ibarat tanah politik yang masih mentah—tercemar oleh sisa darah kolonialisme dan jejak oligarki jagoan lama. Dalam konteks inilah, Warsokusumo tampil bersama Patih Djojodigdo—seorang bangsawan Mataram yang cakap, sakti, dan disegani baik oleh kalangan priyayi maupun pegawai kolonial—untuk menjalankan reformasi birokrasi secara menyeluruh dan memulai pembangunan infrastruktur strategis.
Di bawah kepemimpinan mereka, alun-alun dan Pendopo kabupaten dibangun (1875–1876), dan peresmian jalur kereta api Tulungagung–Blitar pada 16 Juni 1884 dijadikan sebagai fondasi bagi lahirnya sistem ekonomi perkebunan serta mobilitas baru di selatan Jawa Timur.
Kepemimpinan Warsokusumo bukan hanya penanda transisi administratif dari penguasa lama ke birokrat kolonial yang lebih “beradab”, tetapi juga simbol pergantian zaman—dari rezim jagoan ke tatanan administratif, dari kekuasaan berbasis rasa takut menuju kuasa berbasis tata aturan kolonial.
Dan meskipun Blitar masih berada dalam skema dominasi Belanda, duet Warsokusumo-Djojodigdo berhasil membangun ruang bagi rasionalitas birokrasi dan infrastruktur yang melampaui sekadar perpanjangan tangan imperium: mereka mulai membentuk Blitar sebagai pusat baru kekuasaan sipil dan ekonomi di selatan Jawa Timur.
Salah satu prestasi besarnya adalah pembangunan pendopo kabupaten yang megah dan fungsional. Selain itu, ia memperluas dan menata ulang alun-alun Blitar pada 1875–1876, menjadikannya pusat tata kota baru yang modern.
Puncak pembangunan infrastruktur kolonial di bawah pemerintahan KPH Warsokusumo adalah peresmian jalur kereta api dan Stasiun Blitar pada 16 Juni 1884. Stasiun ini dibuka sebagai bagian dari proyek pembangunan jalur kereta ruas Tulungagung–Blitar oleh perusahaan kereta api pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen (SS). Kehadiran stasiun ini menjadikan Blitar terhubung langsung dengan jaringan perdagangan utama Pulau Jawa—terutama jalur komoditas hasil perkebunan seperti kopi, tebu, dan tembakau yang menjadi andalan wilayah Blitar pada masa tanam paksa dan sesudahnya.
Dalam beberapa dekade berikutnya, jalur kereta dari Blitar ke Malang juga berhasil tersambung pada tahun 1896, memperluas mobilitas logistik hasil bumi dan memperkuat posisi Blitar sebagai simpul ekonomi di kawasan selatan Jawa Timur. Namun, jaringan ini sempat lumpuh pasca letusan dahsyat Gunung Kelud pada Mei 1919, yang menyebabkan terganggunya aktivitas perdagangan dan transportasi di seluruh wilayah Blitar.
Baca Juga : Kolaborasi Unisba–Pemkot Blitar: Bangun Koperasi Merah Putih lewat KKN 2025
Meskipun bangunan Stasiun Blitar saat ini bukan lagi struktur asli dari masa kolonial, renovasi besar pada era 1950-an membawa langgam Art Deco, yang hingga kini masih menjadi ciri visual dominan arsitektur stasiun tersebut.
Dalam menghadapi kekuasaan kolonial, Warsokusumo dan Djojodigdo memilih jalur kolaborasi kritis. Mereka sadar bahwa sisa-sisa perlawanan bersenjata Jawa telah melemah pasca-Perang Diponegoro. Pilihan pragmatis ditempuh: membangun Blitar sebagai pusat administrasi kolonial yang efisien namun tetap kental dengan nilai-nilai kejawaan.
Djojodigdo, yang dikenal sakti mandraguna dan memiliki pengaruh spiritual kuat, menjadi figur yang mendamaikan birokrasi kolonial dengan kepercayaan lokal. Kisah-kisah tentang ajian Pancasona dan peran Djojodigdo dalam Rampogan Macan menunjukkan bagaimana tradisi lokal tetap hidup berdampingan dengan modernisasi kolonial.
Spiritualitas dan Dendam Sejarah Berbek
Darah Berbek dalam diri KPH Warsokusumo bukan sekadar catatan silsilah, tetapi juga jejak historis dan spiritual yang mengakar dalam identitas politik dan budaya Jawa Timur. Sebagai cucu dari Raden Tumenggung Sosrodirejo, Bupati Berbek periode 1832–1843, Warsokusumo mewarisi warisan ideologis dan spiritual dari sebuah wilayah yang dahulu merupakan pusat kekuasaan lokal penting sebelum dihapus secara administratif oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Kabupaten Berbek, yang dahulu mencakup wilayah strategis di antara Nganjuk dan Kertosono, mengalami proses integrasi paksa pasca-Perang Diponegoro sebagai bagian dari strategi Belanda menertibkan wilayah Mancanegara Timur. Pada masa pemerintahan RT. Sosrodirejo, integrasi wilayah Berbek, Kertosono, dan Nganjuk diselesaikan dan dimasukkan ke dalam satu struktur administratif baru di bawah kendali penuh pemerintah kolonial. Proses ini menandai penghapusan resmi Kabupaten Berbek sebagai entitas pemerintahan otonom.
Namun demikian, roh perlawanan, spiritualitas, dan integritas elit Berbek tetap hidup dan mengalir dalam diri keturunannya—salah satunya adalah KPH Warsokusumo, yang kemudian memainkan peran strategis membangun Blitar sebagai pusat kekuasaan kolonial baru di selatan Jawa Timur.
Sosrodirejo juga dikenal menghadapi pemberontakan Kyai Penoppo Ngliman, sebuah perlawanan lokal terhadap kebijakan pajak kolonial. Peristiwa ini memperlihatkan bagaimana wilayah Berbek sejak awal menjadi arena tarik-menarik antara kekuasaan kolonial dan aspirasi rakyat kecil. Dalam diri Warsokusumo, warisan spiritualitas Berbek dan strategi politik Mangkunegaran melebur menjadi satu.
Pemerintahan Warsokusumo meninggalkan warisan nyata. Kabupaten Blitar tumbuh menjadi salah satu kota penting di Jawa Timur. Pembangunan infrastruktur perkotaan, transportasi, dan birokrasi modern menjadi fondasi bagi pertumbuhan Blitar hingga hari ini.
Kedua putra KPH Warsokusumo melanjutkan warisan kepemimpinan dengan cara yang mencerminkan keluwesan dinasti priyayi Jawa dalam menjinakkan, sekaligus menavigasi, sistem kolonial Hindia Belanda. KPH Sosrohadinegoro, putra dari RAy Sri Wulan (putri Bupati Srengat), menjabat sebagai Bupati Blitar III sejak 1906. Pada masa pemerintahannya, Blitar diresmikan sebagai Gemeente (kotapraja) pada 1 April 1906—sebuah status administratif modern ala Belanda yang memberikan otonomi terbatas pada wilayah kota.
Meskipun jabatan Burgemeester atau wali kota secara teknis masih dipegang oleh Asisten Residen Belanda, langkah ini menandai perubahan besar dalam struktur pemerintahan Blitar dan menjadi fondasi lahirnya Kota Blitar sebagai entitas administratif yang otonom. Sosrohadinegoro wafat pada 4 September 1917, tetapi jejak pemerintahannya menjadi tonggak penting integrasi budaya birokrasi Jawa dengan model kolonial Eropa.
Kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh adiknya, RMT Warsodiningrat, putra dari RAy Nataningrum (janda Mangkunegara IV dan putri bangsawan Puro Mangkunegaran). Ia menjabat sebagai Bupati Blitar IV dari tahun 1919 hingga wafatnya pada 22 April 1942. Tantangan besar langsung datang di awal masa kepemimpinannya: letusan hebat Gunung Kelud pada Selasa Kliwon, tahun 1919, yang menewaskan lebih dari seribu jiwa dan melumpuhkan aktivitas sosial-ekonomi Blitar. Namun, Warsodiningrat mampu memulihkan situasi dan menjaga stabilitas pemerintahan di tengah krisis ekologis dan tekanan kolonial.
Penerusan kekuasaan dari Warsokusumo kepada dua anaknya ini mencerminkan kelanggengan kuasa aristokrasi lokal dalam bingkai kekuasaan kolonial, serta strategi adaptif yang cermat. Mereka bukan sekadar boneka kolonial, melainkan aktor-aktor aktif yang menjaga kesinambungan kekuasaan, tradisi, dan tata nilai Jawa, sambil memanfaatkan celah-celah sistem kolonial demi memperkuat basis kekuasaan lokal mereka. Dinasti Warsokusumo menjelma sebagai model aristokrasi baru di Jawa Timur: tidak frontal melawan, namun juga tidak menyerah pada penghapusan identitas politik dan spiritual lokal.
Dinasti, Kekuasaan, dan Pembentukan Kota Kolonial
Kisah KPH Warsokusumo adalah contoh nyata bagaimana bangsawan Jawa mengelola transisi dari kekuasaan tradisional ke pemerintahan kolonial. Ia bukan sekadar alat kolonial, tetapi aktor penting yang membentuk wajah baru kota Blitar. Melalui pembangunan fisik kota, aliansi kekuasaan, dan pelestarian spiritualitas lokal, Warsokusumo menunjukkan bahwa kekuasaan lokal Jawa tetap mampu bertahan dan bertransformasi.
Blitar yang kita kenal hari ini adalah hasil dari kompromi, kolaborasi, dan kecerdikan para elite lokal seperti Warsokusumo. Mereka mengubah dendam sejarah menjadi kekuatan pembangunan, dan mengubah warisan spiritual menjadi fondasi peradaban modern. Inilah pelajaran sejarah yang relevan hingga hari ini.