JATIMTIMES - Pertengahan paruh kedua abad ke-17 menandai fase kritis bagi dinasti Mataram. Di tengah konflik internal dan pemberontakan terbuka yang dipimpin oleh Raden Trunajaya, kerajaan ini menghadapi tantangan militer dan politik yang mengancam eksistensinya.
Dalam konteks itulah, Pangeran Adipati Anom—kelak bergelar Amangkurat II dan pada masa mudanya dikenal sebagai Raden Mas Rahmat atau Pangeran Rahmat—memimpin sebuah ekspedisi militer besar menuju wilayah pesisir utara Jawa.
Baca Juga : Pendaftaran Turnamen Catur JTN-Polresta Malang Kota Ditutup, Peserta Lebihi Kuota 500 Orang
Misi utamanya adalah menghancurkan kekuatan Trunajaya yang telah berakar kuat di Surabaya dan daerah sekitarnya. Namun, alih-alih meraih kemenangan, ekspedisi tersebut justru berakhir dengan kekalahan tragis di Gegodog pada 13 Oktober 1676. Artikel ini mengupas episode tersebut dari perspektif historiografi Jawa dan Belanda, dengan menyoroti tokoh-tokoh kunci, dinamika politik, serta keretakan aliansi yang akhirnya membawa kehancuran.
Jepara: Persiapan yang Goyah
Pertempuran Gegodog pada 13 Oktober 1676 menjadi salah satu peristiwa paling getir dalam sejarah militer dan politik Mataram Islam pada abad ke-17. Pertempuran ini bukan hanya menandai kekalahan tragis pasukan kerajaan, tetapi juga memperlihatkan dengan tajam krisis kepemimpinan, pengkhianatan, dan keterpecahan elite Mataram di bawah bayang-bayang pemberontakan besar yang digalang Raden Trunajaya.
Dalam medan berdarah itu, Putra Mahkota Raden Mas Rahmat—kelak dikenal sebagai Amangkurat II—mengalami keruntuhan pertama dalam kepemimpinannya, kehilangan moral dan prajuritnya, serta terjerumus dalam kekalahan memalukan yang akan membentuk jalan sejarah Mataram ke arah yang lebih gelap.
Sumber-sumber Jawa seperti Babad Babad Pakepung (BP), Serat Kandha, serta catatan Belanda (Meinsma, Babad Tanah Jawi) menyampaikan narasi dramatik mengenai persiapan dan pergerakan pasukan Mataram menuju medan laga. Pasukan berkumpul di Jepara pada September 1676. Dalam Babad BP jilid XII, halaman 3–5, disebutkan bahwa perkemahan besar didirikan di Jepara, pusat logistik dan strategi sebelum maju ke medan tempur.
Putra Mahkota Adipati Anom tinggal di rumah Ngabei Wangsaprana, Pangeran Singasari di selatan pura, Pangeran Purbaya di Kasatusan, Pangeran Blitar di Bayularangan, dan Pangeran Sampang di luar kota. Tiga hari dihabiskan untuk istirahat dan musyawarah.
Namun, dalam musyawarah itu terungkap kekhawatiran mendalam. Aras permintaan sang putra mahkota, Pangeran Purbaya mengungkap fakta mengejutkan: kekuatan Madura dan Makassar telah bersekutu erat, dan daerah-daerah pesisir timur serta Bangwetan telah menyatakan setia kepada Panembahan Maduretna Panatagama—Raden Trunajaya, musuh utama Mataram (Meinsma, hlm. 168). Aliansi pemberontak telah menjangkau akar terdalam dari tatanan politik Jawa Timur.
Diplomasi Putra Mahkota: Koalisi yang Rapat, Tapi Retak
Putra Mahkota Raden Mas Rahmat berusaha membentuk aliansi militer dengan Belanda dan bahkan Inggris. Dalam Serat Kandha (hlm. 1029), disebutkan bahwa pihak Eropa berkemah di Jepara bersama Mataram, menunjukkan dimensi geopolitik dari perang ini.
Pada 12 September 1676, Residen VOC Couper bertemu dengan Putra Mahkota di Jepara. Sebuah pertemuan diplomatik terjadi, dihadiri lebih dari 1.000 orang Jawa, dengan tujuan merapatkan barisan melawan pemberontakan Trunajaya dan laskar Makassar.
Hadiah berupa kain brokat dan sepasang pistol diberikan kepada sang putra mahkota, simbol pengakuan dan harapan akan stabilitas kekuasaan (Daghregister, 20 September 1676).
Namun diplomasi tak menghapus kegundahan di tubuh pasukan. Sang putra mahkota menyadari bahwa tanpa dukungan penuh dari para penguasa daerah dan kekuatan asing, ekspedisinya menuju timur hanya akan menjadi iring-iringan maut.
Pasukan Mataram bergerak dari Jepara menyusuri pantai utara Jawa, dengan perbekalan diangkut lewat kapal. Formasi pertempuran dibagi: pasukan pesisir dan mancanagara di depan, diikuti kesatuan inti dari Mataram (Babad BP, jil. XII, hlm. 7). Tujuan mereka: Gegodog, sebuah medan terbuka yang akan menjadi saksi kejatuhan harapan kerajaan.
Di Gegodog, mereka berhadapan dengan kekuatan besar pemberontak yang dipimpin oleh gabungan pasukan Madura, Makassar, dan mancanagara. Tokoh-tokoh militer utama pemberontak antara lain Mangkuyuda, Dandangwacana, Wangsaprana, serta tokoh-tokoh Makassar seperti Ka raeng Galesong, Daeng Marewa, Daeng Makinci(ng), dan Bung Mernung (Meinsma, hlm. 169).
Pertempuran Gegodog: Ketika Kekuatan Tak Lagi Berarti
Pertempuran meletus dengan keganasan luar biasa. Senjata api digunakan di awal pertempuran, menimbulkan asap tebal dan kekacauan. Ketika peluru habis, senjata tajam menjadi alat utama pembantaian (Babad BP, jil. XII, hlm. 8).
Pasukan pemberontak bertahan dengan keberanian luar biasa. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Namun semangat pasukan Mataram perlahan luntur, terutama setelah gelombang serangan balik memporak-porandakan formasi mereka.
Prajurit-prajurit utama Mataram gugur: Kiai Ngabei Wirajaya, Panji Wirabumi, dan Kiai Rangga Sidayu. Bahkan tokoh-tokoh tinggi seperti Tumenggung Rajamenggala, Aria Pamot, dan Pangeran Blitar ikut bertempur dalam keadaan terdesak.
Hanya Pangeran Purbaya yang bertahan sampai kudanya mati, lalu bertarung dengan keris Panji miliknya. Tubuhnya akhirnya dilumpuhkan oleh pengeroyokan, tulangnya remuk. Namun sebelum wafat, ia berkata dengan getir:
"Kepada tiga raja aku mengabdi, tapi tak pernah aku melihat Mataram serendah ini. Laki-laki menjadi penakut seperti perempuan. Mataram ditakdirkan runtuh. Aku tak sudi menyaksikannya." (Babad BP, jil. XII, hlm. 10)
Pangeran Blitar menyelamatkan jenazahnya, memasukkannya ke dalam peti dan membawanya kembali ke Mataram. Hari itu, tanggal 8 Ruwah Dal 1599 Jawa atau 13 Oktober 1676 Masehi, menjadi titik balik kehancuran pasukan kerajaan.
Baca Juga : Hati-Hati! Ini Risiko Serius Main Ponsel Sebelum Tidur yang Jarang Diketahui
Setelah gugurnya Purbaya, semangat pasukan Mataram runtuh. Kekalahan menjadi kepastian. Banyak prajurit melarikan diri ke Jepara, bahkan beberapa pangeran dan bupati ikut lari tanpa arah. Menurut Serat Kandha (hlm. 1038), wabah penyakit mulai menyerang pasukan yang tersisa, sementara perbekalan menipis. Kekacauan total melanda barisan kerajaan.
Kepemimpinan Raden Mas Rahmat runtuh. Dalam kondisi demikian, Dandangwacana dan Wangsapati, pemimpin pemberontak, memburu para pelarian. Jalanan penuh korban dan perampokan. Babad BP mencatat ini menjadi peribahasa kehinaan militer kerajaan.
Catatan Belanda: Diplomasi di Tengah Kegagalan
Surat Ngabei Wangsadipa kepada Poleman (19 Agustus–12 September 1676) menyebutkan bahwa keberangkatan pasukan besar ini disertai pembesar pesisir dan penasihat Mataram. Namun anehnya, tidak ada penyebutan eksplisit tentang sang putra mahkota dalam surat resmi itu.
Ini mengindikasikan ketidakyakinan elit terhadap kapabilitas Adipati Anom. Meskipun begitu, sang putra mahkota tetap mencoba menguatkan posisi diplomatiknya. Ia datang diam-diam ke loji Belanda pada malam hari, hanya dikawal beberapa orang, dan meminta perlindungan dari VOC terhadap ancaman Makassar dan Trunajaya. Ia memohon agar Kompeni menjadi kawan setia Kerajaan Mataram, janji yang kelak mengikat takdir kerajaan kepada kolonialisme Belanda (Daghregister, 20 September 1676).
Pertempuran Gegodog adalah kombinasi tragis antara kelemahan kepemimpinan, pengkhianatan elite lokal, dan kekuatan pemberontakan regional yang terkoordinasi dengan baik. Raden Mas Rahmat, sang putra mahkota, mengalami kekalahan fatal yang tak hanya meruntuhkan moral prajuritnya, tapi juga merobek kepercayaan rakyat terhadap dinasti Mataram.
Kematian Pangeran Purbaya menjadi lambang loyalitas yang sia-sia, sementara kegagalan Adipati Anom menciptakan preseden buruk: bahwa pewaris takhta dapat kalah, mundur, dan bergantung kepada kekuatan asing. Dari titik inilah, jalan sejarah Mataram tak pernah pulih. Kompeni yang dulu hanya sekutu kini menjadi pengendali, dan kekuasaan raja-raja Mataram setelah 1676 tak lebih dari bayang-bayang kejayaan masa silam.
Pertempuran Gegodog bukan sekadar peristiwa militer. Ia adalah cermin keretakan internal kekuasaan Jawa. Sebuah tragedi yang menandai transisi Mataram dari kerajaan agung menjadi subordinat kekuatan kolonial.
Pangeran Pekik, Amangkurat II, dan Lahirnya Kartasura: Sebuah Warisan Surabaya
Pertengahan abad ke-17 menandai pergulatan keras antara kekuasaan agraris Mataram dan pesisir timur Jawa yang kosmopolitan. Di antara riuh peperangan, Pangeran Pekik tampil bukan sekadar sebagai bangsawan Surabaya yang ditaklukkan Sultan Agung, tetapi juga sebagai simpul penghubung spiritual, genealogis, dan politis antara dua kutub kekuasaan besar Jawa. Dialah yang kelak menanamkan bibit legitimasi bagi cucunya, Amangkurat II, pendiri Keraton Kartasura.
Sejarah mencatat, pada 1625, Surabaya—pilar terakhir perlawanan pesisir—runtuh di tangan pasukan Mataram. Panembahan Jayalengkara, raja Surabaya, takluk, bangsawan Surabaya dibinasakan, namun seorang pewaris muda diselamatkan: Pangeran Pekik. Ia kemudian diboyong ke Karta, pusat pemerintahan Sultan Agung, bukan sebagai tawanan, tetapi sebagai menantu. Melalui pernikahan dengan Ratu Pandan Sari—saudari Sultan Agung—Pangeran Pekik menyalurkan darah Sunan Ampel ke jantung Dinasti Mataram.
Dalam tradisi politik Jawa, perkawinan dinasti lebih dari sekadar strategi diplomasi; ia memadukan wahyu keprabon dengan legitimasi genealogis. Wahyu yang diterima Pangeran Pekik di makam Sultan Hadiwijaya di Butuh menubuatkan lahirnya cucu agung yang akan mendirikan kerajaan baru di Wanakerta. Keyakinan spiritual inilah yang kelak membingkai kebijakan boyong kedaton Amangkurat II pasca kehancuran Plered pada 1677.
Peran Pangeran Pekik tidak berhenti pada penyatuan darah. Ia menjadi penasihat militer dan spiritual Sultan Agung, menjembatani dunia pesantren pesisir dengan keraton agraris. Ia pula yang menaklukkan Giri Kedaton pada 1635, simbol otoritas spiritual di Jawa Timur. Tetapi perubahan rezim mengubah segalanya. Amangkurat I, menantu sekaligus putra Sultan Agung, melihat Pekik sebagai bayang-bayang masa silam yang mengancam. Dalam iklim istana yang dibalut paranoia, Pangeran Pekik dieksekusi secara senyap pada 1670, menandai retaknya kepercayaan elite dan rakyat.
Ironisnya, cucu Pekik sendiri, Raden Mas Rahmat—kelak Amangkurat II—menjadi penerus tahta di tengah perang saudara Trunajaya. Keraton Plered hancur, legitimasi raja meredup, dan pamor spiritual dinasti goyah. Dalam keputusasaan, Amangkurat II menapaki jalur wahyu sang kakek: membangun pusat kekuasaan baru di Wanakerta, kelak bernama Kartasura Hadiningrat. Tak sekadar soal lokasi strategis, Kartasura adalah simbol sublimasi wahyu Surabaya di tubuh Mataram.
Pada 1680, boyong kedaton dimulai. Semarang menjadi pangkalan diplomasi dan logistik, VOC menyediakan tentara dan dana, tetapi di balik utang politik itu, tersimpan narasi spiritual. Adipati Nerangkusuma memimpin penebasan hutan Wanakerta, sesuai petunjuk wangsit leluhur. Tujuh bulan kemudian, Keraton Kartasura berdiri dengan tata ruang meniru Plered, tetapi dikelilingi loji Kompeni—tanda lahirnya rezim Mataram yang setengah berdaulat.
Dalam laporan pejabat Mataram kepada Speelman pada 1677, Sultan Agung pernah berwasiat: hanya keturunan Mataram-Surabaya yang berhak memerintah Jawa. Wasiat itu membingkai takhta Amangkurat II sekaligus menjustifikasi Kartasura sebagai perwujudan wahyu Butuh. Jejak Pangeran Pekik mengalir dalam legitimasi raja-raja Kartasura—menegaskan bahwa Surabaya, meski secara militer kalah, menang secara spiritual dan genealogis.
Kartasura bukan hanya istana bambu penampung sisa-sisa perang saudara, tetapi laboratorium politik baru. Di sini, pewaris Mataram belajar menata ulang hubungan dengan elite pesisir, ulama, dan VOC. Kesaktian wahyu keprabon ditopang oleh kompromi realis dengan dagang senjata asing. Di sinilah warisan Pangeran Pekik bersemi: darahnya merapatkan Mataram dan Surabaya, namun darahnya pula menetes di Banyusumurup—kuburan sunyi bagi tokoh besar yang tak sudi tunduk pada rezim curiga.
Dalam sejarah Jawa, Pangeran Pekik bukan sekadar figur lintas generasi. Ia adalah narasi diam: pengingat bahwa di balik gerak dinasti, ada warisan spiritual, dendam, dan kompromi yang membentuk wajah Kartasura. Kerajaan itu lahir di atas puing Plered, dibangun dengan utang, dan bertahan di bawah naungan Kompeni. Namun di balik semua itu, masih berdetak wahyu Surabaya: sebuah pengingat bahwa Jawa, meski ditundukkan, tak pernah benar-benar padam.