JATIMTIMES - Korupsi di lingkungan DPRD berbagai wilayah di Jawa Timur kembali mencuat dan menunjukkan pola yang berulang. Dari Surabaya, Kota Malang, hingga DPRD tingkat provinsi, penyalahgunaan dana publik seperti hibah, Jasmas, dan aspirasi masyarakat terus terjadi.
Pengamat politik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jatim, Singgih Manggalou, menyebut fenomena ini menunjukkan adanya persoalan sistemik dalam mekanisme penganggaran di legislatif. Namun, dia menegaskan bahwa keterlibatan eksekutif tidak bisa digeneralisasi dalam semua kasus.
Baca Juga : KONI Sidoarjo Studi Banding ke KONI Kota Kediri
“Dalam beberapa kasus besar memang hanya anggota DPRD yang dijerat, sementara pihak eksekutif tidak terbukti terlibat secara langsung. Itu berarti korupsi bisa terjadi secara mandiri di tubuh legislatif, tanpa harus melibatkan kepala daerah atau OPD,” kata Singgih, Kamis (10/7/2025).
Menurutnya, besarnya kuasa anggaran yang dimiliki legislatif seperti dalam program hibah atau pokok-pokok pikiran (pokir) menciptakan celah korupsi tersendiri. Terlebih jika pengawasan dari publik maupun internal DPRD tidak berjalan maksimal.
“Selama dana publik bisa diarahkan tanpa transparansi dan tidak ada kontrol yang ketat, maka peluang penyimpangan itu tetap besar. Dan celah ini paling banyak dimanfaatkan oleh oknum-oknum dewan,” ujarnya.
Singgih menyebut bahwa akar dari masalah ini salah satunya adalah mahalnya biaya politik dalam pemilu legislatif. Legislator merasa perlu ‘mengembalikan modal politik’ setelah terpilih, dan celah pengelolaan pokir menjadi sasaran empuk.
Menurutnya, pola seperti ‘titip proyek’ dengan modus mark up anggaran hingga penggunaan yayasan fiktif menjadi taktik yang sering dipakai untuk menyamarkan gratifikasi.
“Praktik ini tumbuh dari ongkos pileg yang tidak masuk akal. Karena itu saya kira penting untuk mengkaji ulang sistem pileg kita agar menggunakan sistem proporsional tertutup,” tegasnya.
Menurutnya, sistem proporsional terbuka saat ini memicu kompetisi antar caleg dalam satu partai yang justru mendorong praktik transaksional. Hal ini berdampak pada mentalitas anggota legislatif yang lebih fokus pada pengembalian biaya politik dibanding fungsi pengawasan.
“Kalau sistemnya tetap seperti sekarang, kita hanya akan mencetak wakil rakyat yang berpikir soal pengembalian modal, bukan kepentingan publik,” tambah Singgih.
Kasus terbaru yang menyeret empat anggota DPRD Jatim sebagai tersangka memperkuat kekhawatiran tersebut. Mereka diduga menerima suap dari pihak-pihak swasta untuk meloloskan usulan hibah Pokmas melalui pokir.
Baca Juga : Polresta Malang Kota Belum Keluarkan Izin Ceramah Dr Zakir Naik di Stadion Gajayana
Sebelumnya, KPK juga telah menjatuhkan vonis 9 tahun penjara kepada mantan Wakil Ketua DPRD Jatim, Sahat Tua Simanjuntak, dalam kasus serupa. Sementara itu, mantan Ketua DPRD Kusnadi masih berstatus saksi dan menyatakan siap jika sewaktu-waktu harus ditahan.
Di Surabaya, tiga mantan anggota DPRD juga divonis bersalah dalam perkara korupsi Jasmas senilai Rp5 miliar pada 2020. Mereka adalah Darmawan, Dini Rijanti, dan Syaiful Aidy yang divonis antara 1,5 hingga 2,5 tahun penjara.
Sementara di Kota Malang, kasus yang mencuat pada 2018 menyeret 41 dari 45 anggota DPRD terkait suap pembahasan APBD Perubahan 2015. Meski Wali Kota saat itu, Moch Anton, juga dijerat, tidak semua pejabat eksekutif terbukti ikut serta dalam arus suap.
“Kita tidak bisa langsung menyimpulkan semua kasus melibatkan eksekutif. Perlu dilihat peran dan bukti keterlibatannya secara cermat,” ujar Singgih.
Singgih pun mengingatkan bahwa DPRD sebagai lembaga legislatif harus lebih berhati-hati dalam setiap keputusan anggaran. Apalagi saat ini tuntutan publik terhadap transparansi dan integritas semakin tinggi.
“Kalau tidak segera melakukan pembenahan internal dan penguatan sistem, DPRD akan terus terseret dalam siklus korupsi. Mereka harus jadi bagian dari solusi, bukan sumber masalah,” tutupnya.