JATIMTIMES - Makkah pernah ditaklukkan tanpa pertumpahan darah, tapi dengan penuh kasih sayang. Di hari bersejarah itu, Rasulullah SAW mencetuskan Yaumul Marhamah, sebuah momen yang menjadi simbol rekonsiliasi, bukan pembalasan.
Pada 20 Ramadan tahun ke-8 Hijriyah, Rasulullah Muhammad SAW bersama 10.000 pasukan muslimin bergerak menuju Kota Makkah. Peristiwa yang dikenal sebagai Fathu Makkah atau Penaklukan Makkah itu bukan hanya menjadi kemenangan militer terbesar dalam sejarah Islam, tetapi juga menjadi tonggak penting munculnya konsep Yaumul Marhamah atau hari kasih sayang. Hal ini seperti disampaikan Syarah Riyadhus Shalihin, Syaikh Muhammad Al-Utsaimin.
Baca Juga : Mau Tambah Pahala Setelah Asyura? Begini Hukum Puasa 11 Muharram Menurut Ulama
Dari Buku "Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama", Faqihuddin Abdul Kodir, Fathu Makkah terjadi sebagai bentuk respon atas pelanggaran Perjanjian Hudaibiyah oleh kaum Quraisy. Perjanjian yang sebelumnya disepakati bersama Nabi SAW itu ternyata dikhianati, sehingga Rasulullah berangkat untuk menagih komitmen tersebut. Di tengah perjalanan, ketika kondisi sudah kondusif, Rasulullah mengumumkan bahwa pasukannya akan memasuki Makkah. Kabar ini disambut sorak gembira para sahabat yang telah lama merindukan momen ini.
Namun, suasana kemenangan itu sempat ternoda oleh slogan perang yang dikumandangkan salah satu panglima pasukan, Sa'd bin Ubadah RA. Seperti dicantumkan dalam Buku "Sang Panglima Tak Terkalahkan: Khalid bin Walid", Hanatul Ula Maulidya, dengan semangat tinggi, ia meneriakkan, “Hari ini adalah hari pembalasan dan penghabisan mereka!", sebuah seruan yang berpotensi menyalakan kembali api dendam lama.
Rasulullah SAW tidak tinggal diam. Beliau segera meminta Ali bin Abi Thalib untuk menegur Sa’d dan mencopotnya dari tugas pembawa bendera. Posisi itu kemudian diberikan kepada putranya, Qais bin Sa’d, dan Rasulullah langsung mengganti slogan tersebut dengan kalimat yang menggugah hati:
“Al-yaum yaumul marhamah, Hari ini adalah hari kasih sayang.”
Keputusan Nabi ini bukan sekadar simbolis, tapi merupakan langkah strategis dan spiritual untuk mencegah pertumpahan darah serta menunjukkan bahwa Islam bukan agama balas dendam, melainkan agama rahmat bagi semesta alam. Hal ini tercatat dalam karya Tema-tema Pokok Filsafat Islam oleh Imam Khanafie Al-Jauharie, serta diperkuat dalam Syarah Riyadhus Shalihin karya Syaikh Muhammad Al-Utsaimin.
Apa yang terjadi kemudian menjadi pelajaran kemanusiaan yang luar biasa. Penduduk Makkah menyerah tanpa syarat, dan Rasulullah tidak menyimpan dendam atas segala perlakuan buruk yang dulu mereka timpakan kepada umat Islam. Sebaliknya, beliau justru mengampuni kesalahan mereka, menjamin keselamatan jiwa dan harta penduduk kota suci tersebut.
Baca Juga : Ketika Muharram Jadi Jembatan Kebaikan: Unisma Santuni Ribuan Anak Yatim dan Dhuafa
Momen ini membuktikan bahwa kemenangan sejati bukan diukur dari dominasi fisik atau kekuatan senjata, melainkan dari kemampuan memberi maaf dan menebar kasih sayang di atas luka masa lalu. Maka tak heran jika hari tersebut diabadikan sebagai Yaumul Marhamah, hari kasih sayang versi Rasulullah yang jauh lebih bermakna dibanding euforia perayaan balas dendam.