JATIMTIMES – Tak sekadar meriah, Festival Merjosarian 2025 di Kelurahan Merjosari, Kota Malang, menghadirkan kejutan budaya yang sarat makna. Dalam puncak acara yang akan digelar 19 Juli 2025, para ketua RW hingga Lurah Merjosari, Muhammad Saiful Arif, S.Si., akan bertransformasi menjadi seniman panggung dalam ludruk kolosal bertema sejarah terbentuknya Merjosari.
Pagelaran ludruk ini tidak hanya menjadi hiburan semata, tetapi juga sarana edukasi dan pelestarian sejarah kampung. Cerita yang dibawakan mengangkat ludruk kolosal bertema “Bapak Tanah Leluhur Merjosari”. Cerita ini merupakan kisah awal mula Merjosari, tokoh leluhur seperti Mbah Joyo, serta pesan-pesan positif yang menyentuh: tentang pentingnya gotong royong, persatuan, dan merawat jati diri kampung. “Di dalamnya akan disisipkan pesan moral untuk masyarakat, soal toleransi, kolaborasi, dan semangat membangun kampung bersama,” ujar Saiful, Sabtu, (7/5/2015).

Merjosari bukan sekadar nama kelurahan modern. Ia menyimpan jejak sejarah panjang yang membentang sejak era kerajaan kuno di Jawa Timur. Awalnya, Merjosari adalah sebuah desa yang masuk dalam wilayah Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Namun sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1987, statusnya berubah menjadi kelurahan dan resmi menjadi bagian dari wilayah administrasi Kota Malang.
Baca Juga : Bintang Film Fantastic Four, Julian McMahon Meninggal Dunia
Secara toponimi, nama Merjosari belum ditemukan secara eksplisit dalam prasasti kuno, tetapi menurut peta era kolonial Belanda sekitar tahun 1916, wilayah ini dikenal sebagai Dukuh Merjosari, yang terletak setelah Dukuh Merjoyo. Kata Merjoyo sendiri diyakini bermakna "kemenangan", merujuk pada istilah Jawa Kuno "Jayamerta" atau "Amertajaya Sri", sebagaimana tertulis dalam Prasasti Sukun (1160 M) pada masa Kerajaan Kediri.
Pada masa Kerajaan Kanjuruhan, wilayah Dinoyo, Merjosari dan Tlogomas merupakan satu kesatuan administratif, bahkan dipercaya sebagai pusat pemerintahan dengan tokoh-tokoh seperti Dewa Simba, Gajayana, dan Ratu Uttejana. Selama era Kerajaan Mataram Kuno, ketiga wilayah tersebut menjadi bagian dari "Watak Kanuruhan", dipimpin oleh pejabat bergelar Rakyan Kanuruhan seperti Pu Huntu, Dyah Mamumpung, dan Pu Uda.
Masuk ke era kerajaan-kerajaan besar seperti Kadiri, Singasari, dan Majapahit, pemerintahan lokal di wilayah ini mulai tersentralisasi di bawah pimpinan Akuwu. Kemudian saat transisi menuju Islam, wilayah Dinoyo, Merjosari, Tlogomas menjadi lokasi penting dalam strategi pengendalian masyarakat Malang oleh Kesultanan Mataram. Aji Singomenggolo, seorang prajurit Mataram dari Madiun hingga Ponorogo, ditugaskan untuk membina dan meredam potensi pemberontakan rakyat lokal, sekaligus menjadi tokoh penting di wilayah Dinoyo yang kala itu membawahi Merjosari.
Dalam tradisi lisan, makam Eyang Djojo Tirto Rojo di Dukuh Merjoyo diyakini sebagai tokoh pepunden, seorang prajurit atau sentana dari Mataram Islam, yang dihormati dan menjadi simbol spiritual masyarakat.
Pemerintahan Desa Merjosari terus berlanjut hingga era modern, dengan nama-nama tokoh seperti Abdurrochim (Aris), Petinggi Djojo, Petinggi Sahat (Karso Oetomo), hingga Petinggi Pairin (Soerjo Atmodjo). Lalu dilanjutkan oleh Darup (caretaker), dan Lurah Wari (Djojo Pranoto).
Baca Juga : 9 Merek Tas Sekolah TK-SD Awet dan Nyaman 2025, Harga Terbaru Mulai Rp150 Ribuan
Disisi lain, sejak tahun 2013, tradisi Bersih Desa dan doa bersama di makam Eyang Djojo Tirto kembali dihidupkan sebagai bentuk pelestarian nilai-nilai leluhur.

Lebih lanjut, tentang Festival Merjosarian, dimulai sejak 22 Juni 2025 dengan gerakan bersih-bersih lingkungan, menandai dimulainya rangkaian tradisi bersih desa. Puncak kegiatan religi digelar pada 26 Juni melalui Khotmil Qur’an di pagi hari, disusul dengan ziarah makam leluhur dan doa akhir-awal tahun hijriah di malam harinya.
Kemudian, pada 27 Juni 2025, diisi dengan Sholawat Burdah. Dan dilanjutkan 4, 5- 6 Juli 2025: Pagelaran Budaya dan Penampilan Seni dari seluruh RW, Pameran UMKM. Berikutnya, 12 Juli 2025 diisi dengan kegiatan Pawai Budaya atau Karnaval Budaya. Dan kegiatan puncak yakni, 19 Juli 2025: Pengajian Budaya dalam bentuk pertunjukan Ludruk Merjosari.
Selain menjadi ajang seni, ludruk ini juga menjadi ruang penyampaian pesan moral dan sosial, dibarengi dengan kegiatan santunan anak yatim, memperkuat semangat gotong royong yang telah mengakar sejak zaman leluhur.