JATIMTIMES - Pada triwulan pertama 2025, Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar kembali mencatat angka yang menjadi perhatian publik. Sebanyak 92 kasus baru Orang dengan HIV (ODHIV) terdata selama tiga bulan pertama tahun ini.
Meski jumlah itu menunjukkan tren sedikit menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya 190 kasus pada 2024 dan 199 kasus pada 2023, namun dinamika persebaran infeksi masih menjadi tantangan serius bagi Pemerintah Kabupaten Blitar.
Baca Juga : Setiap Kamis Sekolah di Surabaya Akan Berbahasa Jawa Lewat Program 'Kamis Mlipis'
Dari 92 kasus yang ditemukan, mayoritas penderitanya adalah laki-laki sebanyak 62 orang, sementara perempuan berjumlah 30 orang. Dalam kategori usia, kelompok produktif 24–49 tahun menempati posisi tertinggi dengan 50 kasus, disusul kelompok di atas 50 tahun sebanyak 23 kasus. Tidak hanya itu, 16 kasus tercatat pada usia muda 20–24 tahun, bahkan dua kasus ditemukan pada remaja usia 15–19 tahun dan satu kasus pada balita.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar, Christine Indrawati, menyebut bahwa tren kasus baru ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri sejak dini. Menurutnya, banyak ODHIV tidak mengetahui status kesehatannya hingga terlambat.
"Kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan sebelum terjadi sesuatu termasuk HIV memang masih minim. Padahal banyak dari mereka yang mobilitasnya tinggi, kerja lintas kota, bahkan lintas provinsi," ujar Christine saat ditemui pada Rabu, 2 Juli 2025.
Namun di balik angka-angka itu, Pemkab Blitar tidak tinggal diam. Pendekatan yang dilakukan tidak melulu bersifat medis. Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar kini menempuh langkah kolaboratif dan menyentuh sisi kemanusiaan. Salah satu strategi yang dikedepankan adalah menggandeng lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai mitra pendampingan.
"Pendampingan yang kami lakukan bukan hanya dari sisi medis, tapi juga pendekatan psikologis dan spiritual. Kami sadar, ketika seseorang pertama kali dinyatakan positif HIV, biasanya muncul reaksi marah, tidak percaya, dan penolakan," jelas Christine.
Pendampingan ini bertujuan untuk menstabilkan kondisi psikis ODHIV dan meyakinkan mereka agar mau menjalani pengobatan antiretroviral (ARV). Dinkes Kabupaten Blitar menyadari, fase awal setelah diagnosis adalah masa krusial. Banyak ODHIV yang awalnya menolak pengobatan karena masih berada dalam fase “denial”.
Namun dengan pendekatan yang humanis dan konsisten, perlahan para ODHIV mulai terbuka dan menerima kenyataan. “Setelah fase penolakan terlewati, mereka cenderung lebih rasional dan bersedia menjalani pengobatan. Inilah pentingnya peran pendampingan,” tambah Christine.
Baca Juga : Harga Cabai hingga Emas Naik, Inflasi Kota Malang Sentuh 0,38 Persen pada Juni 2025
Program pendampingan ini juga dimaksudkan sebagai upaya preventif untuk menekan angka penularan. Dengan rutin mengonsumsi ARV dan didampingi secara psikososial, risiko penularan HIV ke orang lain bisa diminimalkan. Dalam konteks ini, Pemkab Blitar memandang penanganan HIV bukan semata-mata urusan medis, melainkan juga agenda pembangunan kesehatan masyarakat yang inklusif.
Secara struktural, Dinkes Kabupaten Blitar juga memperkuat jaringan deteksi dini di fasilitas kesehatan. Puskesmas dan rumah sakit daerah telah dilatih untuk tidak hanya memberikan layanan, tetapi juga edukasi yang persuasif kepada masyarakat. Edukasi ini menjadi penting mengingat stigma sosial terhadap HIV masih tinggi, sehingga banyak ODHIV enggan terbuka terhadap kondisinya.
Pemerintah Kabupaten Blitar menaruh perhatian serius terhadap isu ini. Pendekatan inklusif, partisipatif, dan berbasis komunitas menjadi arah kebijakan yang dijalankan saat ini. Dalam jangka panjang, Pemkab Blitar berharap masyarakat tidak lagi memandang HIV sebagai aib, tetapi sebagai persoalan kesehatan yang bisa ditangani secara ilmiah dan manusiawi.
Langkah-langkah konkret yang ditempuh oleh Pemkab Blitar bukan hanya memperlihatkan kepedulian, tetapi juga menunjukkan arah pembangunan kesehatan yang berpihak pada kelompok rentan. Pendampingan yang terus digencarkan, kerja sama dengan LSM, dan edukasi publik adalah bentuk nyata bahwa Pemerintah Kabupaten Blitar tidak hanya mengejar angka, tetapi juga memperjuangkan harapan hidup yang lebih baik bagi ODHIV.
Di tengah angka statistik yang dingin, upaya pemerintah dan jaringan sosial lokal terus menghidupkan optimisme: bahwa setiap angka itu punya nama, dan setiap nama punya masa depan yang layak diperjuangkan.