JATIMTIMES - Dalam pergolakan pasca-kemunduran Kesultanan Pajang pada akhir abad ke-16, sebuah momentum sejarah terbangun dari pertemuan dua kekuatan yang memiliki legitimasi berbeda. Yakni, satu berasal dari garis darah Kesultanan Demak melalui Sunan Prawoto dan Ratu Kalinyamat serta satu lagi lahir dari medan perjuangan lokal Mataram Islam.
Tokoh utamanya adalah Arya Pangiri, adipati Demak yang naik takhta sebagai raja Pajang dan Sutawijaya atau Panembahan Senapati, pemimpin Mataram yang kelak mendirikan dinasti baru.
Arya Pangiri: Warisan Demak dalam Pajang
Baca Juga : Mahasiswa FISIP UB Turun ke Desa Kabupaten Malang, Bantu Pecahkan Masalah Warga
Pada penghujung abad ke-16, Kesultanan Pajang menghadapi persimpangan sejarahnya yang paling menentukan. Konflik internal, warisan dendam masa lalu, dan peralihan kekuasaan yang berlapis-lapis membawa Pajang kepada kehancuran, yang sekaligus menjadi titik tolak kemunculan Mataram sebagai kekuatan baru di jantung Tanah Jawa.
Salah satu tokoh kunci dalam momen kritis ini adalah Arya Pangiri, anak Sunan Prawoto, sultan Demak terakhir yang wafat terbunuh dalam konstelasi berdarah politik pesisir utara. Ia diasuh oleh Ratu Kalinyamat di Jepara, tokoh perempuan yang tidak hanya berjasa dalam perlawanan terhadap Portugis di Malaka, tetapi juga memainkan peran penting dalam jejaring kekuasaan Islam pesisir Jawa.
Dalam strategi konsolidasi politik, Arya Pangiri dinikahkan dengan putri Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir), sultan Pajang. Melalui pernikahan ini, ia masuk dalam orbit istana Pajang.
Namun, setelah wafatnya Sultan Hadiwijaya dan turunnya status Pangeran Benawa menjadi sekadar adipati Jipang, Arya Pangiri naik takhta dan menyatakan dirinya sebagai Raja Pajang. Kenaikan ini bukan tanpa pertikaian. Sebab, kekuasaan Arya Pangiri ditopang oleh dukungan bangsawan pesisir yang datang bersamanya dari Demak, sehingga menimbulkan gesekan keras dengan elit Pajang lokal. Babad Tanah Jawi (ed. Meinsma, hlm. 94-95) mencatat bahwa para pendatang dari Demak diberi kedudukan tinggi, bahkan pangkatnya dinaikkan, sementara tanah-tanah penduduk Pajang disita untuk menghidupi para pendatang itu.
Babad Tanah Jawi mencatat bahwa Arya Pangiri membawa serta rombongan besar dari Demak ke istana Pajang. Ia membagi-bagikan jabatan dan tanah rampasan kepada para pengikutnya, sebagian besar bangsawan pesisir, yang memperlakukan masyarakat Pajang dengan sikap merendahkan. Ketimpangan sosial dan ekonomi menciptakan keresahan yang menyebar hingga ke Mataram, pusat kekuasaan Senapati. Dalam Meinsma ("Babad Tanah Djawi", hlm. 94-95), diceritakan bahwa tanah penduduk diambil paksa, status sosial pendatang dinaikkan, dan warga Pajang dipinggirkan. Sebagian besar akhirnya pindah dan menetap di wilayah Mataram.
Pangeran Benawa dan Mandat Spiritual
Pangeran Benawa, putra kandung Sultan Hadiwijaya, merasa tersingkir dan tidak puas atas kekuasaan Arya Pangiri. Babad Tanah Jawi menggambarkan dirinya hidup dalam kesedihan dan kemiskinan di Jipang, bahkan tidur di bawah pohon, hingga akhirnya dalam mimpi ia mendapat pesan spiritual dari arwah ayahnya untuk meminta bantuan kepada Panembahan Senapati. Awalnya Senapati menolak, menyatakan bahwa Mataram cukup baginya, namun setelah Benawa menawarkan seluruh kekuasaan Pajang, Senapati luluh—baik karena pertimbangan politik maupun dorongan spiritual.
Pertemuan mereka berlangsung di Weru, Gunung Kidul. Menurut Serat Kandha (hal. 582-585), mereka saling merangkul dan bermusyawarah di sebuah pondok, menyusun strategi merebut kembali Pajang. Rencana pun disusun: pasukan Mataram akan menyerang dari barat, pasukan Benawa dari timur.
Perebutan Pajang: Politik, Magis, dan Senjata Api
Pertempuran penentuan antara Mataram dan Pajang pecah di alun-alun ibu kota Pajang, sekitar tahun 1587–1588. Kekuatan pasukan Arya Pangiri, yang kala itu menjabat sebagai Raja Pajang, terdiri dari kombinasi 2.000 serdadu Demak yang ia bawa dari pesisir utara, 3.000 orang Pajang yang telah lama menjadi aparat domestik kesultanan, serta 400 prajurit sewaan yang dalam naskah-naskah Jawa disebut “budak belian.” Mereka berasal dari Bugis, Bali, dan Makassar—etnis militan dari kawasan timur Nusantara yang dikenal sebagai tentara bayaran dalam jaringan perdagangan dan kekuasaan pesisir. Keberadaan mereka mencerminkan watak kerajaan pesisir: kosmopolitan, cair, dan berorientasi pada kekuatan maritim, berbeda dengan model kekuasaan agraris dan spiritualistik ala Mataram.
Senapati, putra Ki Ageng Pemanahan dan penguasa Mataram, memimpin pasukannya dari arah barat. Ia menunggang kuda emas yang dinamai Bratayuda, simbol naratif perang besar dalam epos Mahabharata, seolah menyiratkan bahwa konflik ini bukan sekadar perebutan tahta duniawi, melainkan pertarungan dharma dan adharma dalam tafsir lokal. Pasukan Mataram menyerbu dari arah barat dan selatan, didukung oleh loyalis Pangeran Benawa yang menyerang dari timur. Menurut Babad Tanah Jawi (Meinsma, hal. 96–98), Arya Pangiri memerintahkan agar peluru yang digunakan para prajurit pesisir dicetak dari emas dan perak—simbol kekayaan dan kekuasaan, tetapi justru menjadi ironi karena tak satu pun melukai Senapati. Dalam tradisi tutur, dikisahkan bahwa tubuh Senapati “kebal,” dilindungi oleh doa-doa leluhur dan pertolongan makhluk halus.
Di tengah pertempuran, muncul sosok Kiai Gedong, seorang mantri Pajang yang telah diam-diam membelot ke pihak Mataram. Ia memainkan peran krusial: membuka gerbang barat kota dengan pasukannya dan menyerbu dari dalam, meski akhirnya gugur di alun-alun. Ia dikenang sebagai pahlawan Mataram yang bertindak dengan semangat "dhahar sabrang"—pengorbanan melampaui sekat wilayah dan loyalitas lama. Perannya menjadi bukti bahwa konflik ini bukan sekadar perang antar penguasa, tapi juga kontestasi antara dua model legitimasi kekuasaan: satu berbasis warisan politik Demak dan jejaring pesisir, satu lagi berbasis wahyu kejawen dan restu tanah pedalaman.
Kemenangan berpihak pada Senapati. Banyak pasukan lawan membelot, termasuk para "budak belian" yang dijanjikan kebebasan oleh Senapati—manuver cerdik yang menembus lapisan ekonomi-politik perekrutan tentara sewaan dalam sistem kerajaan maritim. Peristiwa ini sekaligus menandai pecahnya simpul kekuasaan lama di Pajang, dan lahirnya satu poros kekuasaan baru: Mataram Islam, yang tidak sekadar menang secara militer, tetapi juga secara spiritual dan simbolik.
Senapati yang dikenal sebagai seorang Muslim yang taat, menurut Babad Tanah Jawi, sempat berhenti di tengah pertempuran untuk salat dan berdoa. Dalam tafsir spiritual, kemenangan ini dipandang sebagai hasil kekuatan ruhani dan restu ilahi. Arya Pangiri akhirnya ditangkap, dibawa kembali ke Demak, dan dilucuti dari haknya atas Pajang.
Penobatan Benawa dan Rebutan Pusaka
Setelah kemenangan pasukan gabungan Mataram dan Jipang atas Arya Pangiri di Pajang, suasana politik berubah drastis. Meskipun secara genealogis Pangeran Benawa adalah putra mahkota Sultan Hadiwijaya, ia justru memilih tidak melanjutkan warisan tahta. Dalam peristiwa yang mencerminkan kebijaksanaan sekaligus tekanan politik, Benawa secara terbuka menolak menjadi raja secara penuh dan menawarkan takhta Kesultanan Pajang kepada Senapati, panglima Mataram yang menjadi aktor utama dalam penggulingan Arya Pangiri. Penolakan Benawa ini, sebagaimana dicatat dalam Babad Tanah Jawi (Meinsma, hal. 98–100), disampaikan dengan kata-kata penuh ketulusan: “Juga harta benda yang sangat berharga yang ditinggalkan Sri Baginda, saya serahkan kepada Anda.”
Namun Senapati, dalam strategi politiknya yang lihai, menolak tawaran itu. Ia menegaskan bahwa dirinya tidak menginginkan kekuasaan atas Pajang, melainkan hanya ingin memerintah Mataram, sesuai dengan "pemberian Sultan Hadiwijaya dahulu" (Serat Kandha, hlm. 586). Tapi penolakan ini bukan tanpa syarat. Senapati meminta benda-benda pusaka warisan keraton Pajang, yakni gong Kiai Sekar Delima, kendali kuda Kiai Macan Guguh, dan pelana Kiai Jatayu—semuanya merupakan simbol kedaulatan dan legitimasi kerajaan menurut tradisi keraton Jawa. Dalam kosmologi politik Jawa, benda-benda ini tidak sekadar hiasan kerajaan, melainkan diyakini menyimpan wahyu kedaton, legitimasi ilahi yang menentukan siapa yang layak memerintah. Dengan mengambil pusaka, Senapati pada hakikatnya bukan menolak tahta, tetapi menyerap esensi kekuasaan Pajang ke dalam tubuh politik Mataram.
Dalam upacara resmi yang dilaksanakan dengan tata cara keraton dan saksi para mantri serta para bupati bawahan Pajang, Senapati duduk di atas kursi emas. Sementara itu, Pangeran Benawa, yang secara simbolik telah berada dalam bayang kekuasaan Mataram, duduk di kursi di bawahnya. Pernyataan Senapati dalam forum itu sangat jelas, bernuansa pengesahan sekaligus dominasi: “Para bupati dan mantri, hendaknya kalian semua menjadi saksi bahwa saya mengangkat adik saya, Pangeran Benawa, sebagai Sultan yang berkuasa atas Kerajaan Pajang sebagai pengganti ayah saya” (Babad Tanah Jawi, hal. 98). Kalimat ini memiliki dua lapis makna. Di satu sisi, ia mengafirmasi status Benawa sebagai penerus sah Hadiwijaya, sesuai dengan hukum darah (kawisaya). Tapi di sisi lain, kalimat itu juga mengandung struktur subordinasi: bahwa Benawa hanya naik tahta karena diangkat oleh Senapati—bukan karena hak keturunan semata.
Narasi ini menggambarkan transisi kekuasaan dengan gaya khas politik Jawa: tidak frontal, tetapi penuh simbol, isyarat, dan dominasi halus. Pusaka dipindahkan, takhta dibiarkan tetap, tetapi kendali hakiki berpindah. Dengan tidak langsung menjadi Raja Pajang, Senapati menghindari konflik terbuka dengan elite lama, tapi secara de facto ia telah menjadikan Mataram sebagai poros kekuasaan baru di Jawa pedalaman. Ia tidak hanya memperoleh kemenangan militer, tetapi juga kemenangan simbolik dan spiritual: ngreksa jagad (menjaga dunia), dalam bingkai Mataram Islam.
Hilangnya Benawa: Raja atau Wali?
Baca Juga : Scoopy Velocreativity Singgah di Blitar, Ajak Komunitas Tampil Stylish dan Kreatif!
Namun, tak lama setelah penobatan, Pangeran Benawa menghilang secara misterius. Dua versi sejarah muncul. Babad Tanah Jawi menyebut ia wafat setahun setelah naik takhta. Serat Kandha (hal. 589-590) mencatat bahwa Benawa justru meninggalkan istana, hanyut ke arah Sidayu, lalu bersemedi di Gua Gunung Kukulan di Parakan (Kendal), menjadi seorang wali bergelar Susuhunan Parakan.
Senapati dilaporkan menangis atas kepergian Benawa. Namun tafsir kritis melihat bahwa peran Benawa memang telah selesai. Dalam politik dinasti, kehadirannya dibutuhkan untuk menyingkirkan Arya Pangiri dan melegitimasi Senapati, tetapi setelah itu ia harus disingkirkan secara halus. Hilangnya Benawa memperkuat posisi Mataram sebagai pewaris tunggal kekuasaan Jawa.
Peristiwa ini tidak hanya tentang perebutan kekuasaan, tetapi tentang transisi ideologi. Pajang adalah warisan Demak, kerajaan Islam pesisir, dengan corak perdagangan dan keterbukaan. Mataram mewakili semangat baru Islam pedalaman: sinkretik, spiritual, dan berorientasi pertanian. Dalam narasi Babad, spiritualitas, wahyu, dan pusaka menjadi bagian dari legitimasi politik.
Senapati tidak hanya menaklukkan Pajang secara militer, tetapi juga merebut simbol-simbol kedaulatan: pusaka, gelar, dan pengakuan rakyat. Maka, penobatan Benawa bukan akhir kejayaan Pajang, tetapi awal dari dominasi Mataram Islam. Dalam gaya khas penaklukan Jawa, kekuasaan lama tidak dihancurkan frontal, tetapi dikooptasi, dibalut legitimasi kekerabatan, lalu diserap ke dalam tatanan baru.
Dengan demikian, peristiwa tahun 1586 ini adalah kulminasi dari dendam sejarah antara dua garis warisan: Demak yang tumbuh dari pesantren, dan Mataram yang muncul dari medan pertapaan. Senapati telah menunjukkan bagaimana politik Jawa memadukan kekuatan spiritual, legitimasi budaya, dan kalkulasi kekuasaan—sebuah warisan yang akan terus membentuk sejarah politik Jawa hingga berabad-abad kemudian.
Darah Benawa, Takhta Mataram: Jejak Garis Keturunan yang Melahirkan Sultan Agung
Dalam konstelasi sejarah Jawa abad ke-16 dan ke-17, kisah lahirnya Sultan Agung Hanyakrakusuma tak dapat dilepaskan dari jalinan darah bangsawan Pajang dan jaringan spiritual Islam pedalaman. Ia bukan sekadar raja besar Mataram Islam yang memerangi VOC dan menaklukkan Madura; ia adalah produk dari pertemuan dua garis warisan agung: keturunan langsung Sultan Hadiwijaya dari Pajang dan keturunan para wali dari jalur Kyai Ageng Pengampelan. Inti kisah ini bersumber pada satu tokoh penting yang kerap dilupakan: Pangeran Benawa, anak biologis Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya), sekaligus ayah dari ibu Sultan Agung.
Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, raja pertama Kesultanan Pajang memerintah sejak tahun 1458 Jawa (sekitar 1530-an Masehi). Nama asli Jaka Tingkir adalah Mas Karebet, lahir dari pasangan Raden Kebo Kenanga, bangsawan Pengging, dan Rara Alit, putri dari Pangeran Gugur, cucu Prabu Brawijaya V, raja Majapahit. Dengan demikian, Pangeran Benawa merupakan cucu dari garis keturunan raja Majapahit, serta cicit dari garis para wali, mengingat ibunya adalah putri Sultan Trenggana dan keturunan dari Sunan Kalijaga. Dari segi darah dan ajaran, ia mewarisi dua arus besar yang membentuk identitas kerajaan Islam Jawa: darah raja dan darah wali.
Jaka Tingkir, sang ayah, adalah figur unik dalam sejarah Islam-Jawa. Sejak usia dua tahun ia telah menjadi yatim-piatu akibat agresi militer Kesultanan Demak ke Pengging. Diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir, ia menempuh jalur spiritual keras: belajar kepada para wali dan guru besar seperti Ki Ageng Selo, Sunan Kalijaga, hingga Ki Ageng Butuh. Setelah menjadi Lurah Wira Tamtama di Demak dan menikahi Ratu Mas Cempaka, putri Sultan Trenggana, ia diberi kedudukan sebagai Adipati Pajang, lalu dinobatkan menjadi Sultan Pajang oleh Sunan Giri Prapen, dengan gelar Sultan Hadiwijaya Hing Pajang. Maka, Benawa lahir dan besar dalam lingkungan istana yang menjunjung tradisi kepangeranan Majapahit dan sufisme wali sanga.
Menurut silsilah resmi, Sultan Hadiwijaya memiliki tujuh anak, di antaranya: Ratu Mas Jepara (yang menikah dengan Arya Pangiri, putra Sunan Prawoto), dan Pangeran Benawa, yang kelak mewarisi takhta namun hanya memerintah selama satu tahun (1586–1587). Sepeninggal Hadiwijaya, Benawa ditunjuk menjadi Adipati Jipang Panolan, wilayah penting di barat daya Demak. Namun takhta Pajang justru direbut oleh Arya Pangiri—ipar Benawa sendiri—yang membuatnya terusir dari lingkar kuasa. Dalam keadaan terdesak, Benawa mencari dukungan kepada Senapati di Mataram, dan bersama-sama mereka menumbangkan Arya Pangiri serta merebut kembali Pajang.
Pangeran Benawa memerintah Kerajaan Pajang secara singkat antara tahun 1586–1587, dengan gelar Sultan Prabuwijaya. Ia dikenal dalam berbagai sumber sebagai Adipati Pengging, pewaris sah tahta ayahandanya, namun terdesak oleh manuver politik Arya Pangiri, menantu Hadiwijaya asal Demak. Dalam kondisi terjepit, Benawa justru menunjukkan keluhuran watak: ia menyerahkan Pajang kepada Senapati Mataram dan memilih hidup sebagai bangsawan di wilayah Jipang.
Meskipun peran politiknya singkat, Pangeran Benawa menorehkan jejak panjang dalam sejarah Mataram. Ia menikah dengan putri Kyai Ageng Pengampelan I, salah satu tokoh tarekat berpengaruh di pesisir utara Jawa. Dari pernikahan ini lahirlah Dyah Banowati, kelak dikenal sebagai Ratu Mas Hadi, permaisuri Panembahan Hanyakrawati (Raden Mas Jolang), Raja kedua Mataram setelah Sutawijaya. Dari rahim Dyah Banowati inilah lahir Raden Mas Rangsang, yang naik tahta dengan gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja terbesar dalam sejarah Mataram Islam.
Dengan demikian, Sultan Agung adalah cucu kandung Pangeran Benawa dari jalur ibu, sekaligus cicit Sultan Hadiwijaya. Garis darah inilah yang kemudian menjadi dasar legitimasi politik Mataram atas Pajang dan Demak. Dalam Serat Kandha dan Babad Tanah Jawi, disebutkan bahwa pusaka-pusaka kerajaan seperti Kiai Sekar Delima, Macan Guguh, dan Jatayu diwariskan melalui jalur Benawa dan diterima Senapati, ayah Panembahan Hanyakrawati. Maka, Sultan Agung bukan hanya mewarisi tahta secara militer, tapi juga secara spiritual dan genealogis.
Daftar keturunan Pangeran Benawa memperlihatkan luasnya jaringan politik yang dibangun lewat pernikahan. Setidaknya 15 nama anak dicatat dalam silsilah, baik dari istri utama maupun selir. Di antara mereka terdapat Ratu Mas Kalangon (istri Adipati Cirebon), Ratu Mas Hartati, Pangeran Arya Kaputran, Pangeran Arya Timur, Pangeran Mas Adipati Pajang II, dan berbagai Raden Ayu dari lingkungan elite Pajang.
Namun yang paling penting adalah peran Dyah Banowati. Secara spiritual, ia menjadi jembatan antara Islam wali di pesisir dan kekuasaan raja-raja Mataram di pedalaman. Ia bukan hanya simbol aliansi politik, tetapi lambang penyatuan dua arus besar: Islam sufistik warisan Kyai Ageng Pengampelan dan Islam kekuasaan dari trah Pajang. Dalam struktur kekuasaan Jawa, anak perempuan bukan sekadar alat diplomasi dinasti, tetapi juga penjaga wahyu dan garis legitimasi. Dalam penelitian penulis atas sumber-sumber babad dan arsip kolonial, berulang kali tampak bahwa di balik kekuasaan seorang raja Jawa, berdiri sosok ibu yang menghubungkan pusaka, darah, dan wahyu kerajaan.
Ketika Sultan Agung memerintah antara 1613–1645, ia kerap merujuk pada Pajang sebagai bagian dari warisan leluhurnya. Ini terlihat dari kebijakan-kebijakan yang memuliakan makam Jaka Tingkir di Butuh, dan pembangunan infrastruktur spiritual seperti masjid-masjid tua yang diasosiasikan dengan pengaruh Pajang. Dalam tafsir spiritual-kerakyatan, sebagaimana diajarkan di lingkungan pesantren-pesantren tua, Sultan Agung diyakini sebagai titisan “darah wali dan darah raja”—dan darah itu mengalir dari Benawa, dari Hadiwijaya, dan dari Kyai Ageng Pengampelan.
Selain itu, tradisi lisan di Parakan dan Pengging menyebutkan keberadaan “Benawa II” atau “Raden Mas Pajang Pringapus” sebagai keturunan Benawa yang mengabdi di lingkar dalam Mataram, serta turut menjaga pusaka dan wirid leluhur. Dari garis keturunan ini pulalah, kelak lahir tokoh-tokoh pujangga besar seperti Yasadipura dan Ranggawarsita, yang melanjutkan warisan spiritual Mataram ke dalam bentuk sastra.
Kelahiran Sultan Agung bukanlah momen biologis belaka. Ia adalah puncak dari jaringan darah, wahyu, dan strategi spiritual yang dirancang jauh sebelum Sutawijaya mendirikan Mataram. Dalam darahnya mengalir kekuasaan Pajang, karisma Demak, dan aura sufistik pesantren-pesantren tua di pesisir. Dan dalam kisah ini, Pangeran Benawa bukan sekadar bayangan singkat dalam sejarah Pajang, melainkan figur kunci dalam kelahiran sebuah kerajaan besar yang mengubah lanskap politik Jawa selama dua abad ke depan.