JATIMTIMES - Pembahasan revisi Undang-Undang (RUU) TNI, Polri, dan Kejaksaan yang berlangsung di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah menjadi sorotan. Namun, revisi ini menuai banyak kritik, terutama dari Koalisi Sipil untuk Sektor Keamanan yang terdiri dari YLBHI, KontraS, hingga BEM SI.
Pada Sabtu (15/3/2025), Koalisi Sipil tersebut mendatangi lokasi rapat yang diselenggarakan di Hotel Fairmont untuk menyampaikan keberatan mereka. Mereka menilai bahwa revisi UU TNI memiliki dampak luas bagi masyarakat, sehingga seharusnya dibahas secara transparan di gedung DPR, bukan di tempat tertutup. Selain itu, pemilihan hotel mewah sebagai lokasi rapat juga dianggap bertentangan dengan prinsip efisiensi anggaran yang tengah digaungkan pemerintah.
"Kami dari Koalisi Reformasi Sektor Keamanan pemerhati di bidang pertahanan, hentikan, karena tidak sesuai ini diadakan tertutup," ungkap salah satu peserta aksi, Andrie.
"Bapak-Ibu yang terhormat, yang katanya ingin dihormati, kami menolak adanya pembahasan di dalam, kami menolak adanya dwifungsi ABRI, hentikan proses pembahasan RUU TNI," tambah keterangannya.
Merespons viralnya video aksi tersebut, lantas banyak yang penasaran tentang maksud dwifungsi ABRI. Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara FSH UINSA Surabaya, Titik Triwulan Tutik, menyebutkan RUU yang sedang dibahas bukan bertujuan untuk memperketat pengawasan terhadap institusi negara, melainkan lebih cenderung memperluas kewenangan masing-masing lembaga.
"Ketentuan ini membuka peluang prajurit aktif mengisi jabatan di semua kementerian atau lembaga. Hal ini sebagaimana pada masa pemberlakuan dwifungsi ABRI di era Orde Baru," kata Titik, dikutip Detikcom, Selasa (18/3/2025).
Apa Itu Dwifungsi ABRI?
Dosen Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Jambi, Muhammad Eriton, SH, MH, CLA, menjelaskan bahwa konsep dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) merupakan gagasan yang memberikan peran ganda kepada militer.
Pertama, sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan (hankam). Kedua, sebagai kekuatan sosial-politik.
Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Jenderal AH Nasution pada 11 November 1958.
Kemudian, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, dwifungsi ABRI dikukuhkan melalui Ketetapan MPRS No II Tahun 1969. Tujuan utamanya adalah menciptakan stabilitas nasional dalam berbagai aspek kehidupan, guna memperkuat ketahanan nasional dan mencapai tujuan negara berdasarkan Pancasila.
"Fungsi sebagai kekuatan sosial politik hakikatnya adalah tekad dan semangat pengabdian ABRI untuk ikut secara aktif berperan serta bersama-sama dengan segenap kekuatan sosial politik lainnya memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan dan kedaulatannya," jelas Eriton, dikutip dari laman resmi Universitas Jambi.
Pada praktiknya, dwifungsi ABRI memungkinkan personel militer menempati berbagai posisi strategis di pemerintahan dan masyarakat. Namun, hal ini menimbulkan pro dan kontra. Bagi sebagian kalangan, keberadaan militer di pemerintahan dianggap sebagai bentuk stabilitas. Namun, bagi yang lain, hal ini dianggap sebagai dominasi militer dalam politik sipil, yang berpotensi menghambat demokrasi.
Eriton menambahkan bahwa efektivitas dwifungsi ABRI bergantung pada keseimbangan antara kepentingan militer dan sipil.
"Konsensus selalu dapat dibuat atas dasar tidak satu pun pihak boleh mendominasi pihak yang lain. Kecurigaan terhadap golongan lain harus dihindari, kearifan harus ditumbuhkan agar konflik internal tentang hal ini tidak merebak menjadi perpecahan yang mengganggu ketahanan nasional," paparnya.
Sejak lengsernya Soeharto, konsep dwifungsi ABRI mulai ditinggalkan. Presiden BJ Habibie, yang menggantikan Soeharto, segera mengambil langkah reformasi, termasuk dalam struktur ABRI.
Dalam buku Sejarah 3 SMA Kelas XII karya Drs Sardiman A. M., M.Pd., dijelaskan bahwa BJ Habibie menerapkan sejumlah kebijakan reformasi, di antaranya:
⢠Membuka ruang kebebasan berserikat dan kebebasan pers.
⢠Membebaskan tahanan politik era Orde Baru.
⢠Memfasilitasi pemilu yang lebih demokratis.
⢠Melonggarkan kontrol pemerintah terhadap kritik publik.
Pada masa pemerintahannya, reformasi di tubuh ABRI juga dilakukan. Sebab, di era Orde Baru, ABRI tidak hanya memiliki peran di bidang pertahanan dan keamanan, tetapi juga di bidang sosial-politik melalui dwifungsi ABRI.
Konsep ini kemudian dianggap bertentangan dengan semangat demokratisasi yang berkembang di era reformasi. Pada 5 Mei 1999, POLRI akhirnya dipisahkan dari ABRI, yang kemudian berubah nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Ancaman Kembalinya Dwifungsi ABRI?
Direktur Eksekutif Amnesty Universitas Negeri Semarang (Unnes), Raihan Muhammad, menyebut bahwa kembalinya dwifungsi ABRI merupakan kemunduran besar bagi demokrasi Indonesia.
Menurutnya, konsep ini berisiko mengembalikan peran militer dalam ranah sipil, yang dapat berujung pada penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
"Pengalaman masa lalu harus menjadi pelajaran berharga bagi pemerintahan saat ini. Kembali pada praktik lama yang telah dikecam oleh rakyat Indonesia merupakan pengkhianatan terhadap semangat reformasi yang seharusnya terus dijaga dan diperkuat," ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa seluruh elemen masyarakat harus bersuara menolak kembalinya dwifungsi ABRI.
"Keberhasilan Reformasi 1998 tidak boleh disia-siakan dengan keputusan yang mengancam kembali ke era kelam tersebut," ujarnya.
Alih-alih memperluas kewenangan TNI di ranah sipil, Raihan menekankan pentingnya reformasi internal di tubuh militer agar lebih profesional dan efektif dalam menjalankan tugasnya.
"Pentingnya profesionalisme militer memastikan bahwa TNI tetap terfokus pada tugas-tugas militernya yang utama, yakni mempertahankan dan melindungi kedaulatan negara," pungkas Raihan.