Jejak Sunyi Sang Perawi: Imam Al-Bukhari, Cahaya Ilmu yang Diuji dengan Fitnah
Reporter
Anggara Sudiongko
Editor
Yunan Helmy
11 - Jul - 2025, 08:24
JATIMTIMES - Dalam sejarah Islam, tak banyak nama yang bergema hingga lintas abad seperti sosok Imam Al-Bukhari. Ia bukan hanya seorang ahli hadis, tetapi juga pelita ilmu yang menerangi zaman.
Namun, di balik ketenarannya sebagai penyusun Shahih al-Bukhari, kitab hadis paling terpercaya setelah Al-Quran, tersimpan perjalanan hidup yang penuh luka, pengabdian, dan kesunyian menjelang ajal.
Baca Juga : Bediding Sampai Kapan? Ini Kata BMKG
Muhammad bin Ismail, yang kemudian dikenal sebagai Imam Al-Bukhari, lahir di Bukhara (kota di Uzbekistan) pada 13 Syawal 194 H atau 19 Juli 810 M. Sejak awal, takdir membentuknya dalam ujian: ayahnya wafat saat ia masih kanak-kanak, menjadikannya yatim sejak dini. Ibunya, sosok perempuan tangguh, membesarkannya seorang diri.
Ujian lain datang ketika ia kehilangan penglihatan di usia belia. Namun, mukjizat doa seorang ibu tak pernah sia-sia. Penglihatannya kembali dan bersama itu, semangat menuntut ilmu Bukhari bangkit, menyala, tak terbendung.
Sejak kecil, ia telah menghafal ribuan hadis. Di usia remaja, ia sudah khatam menelaah kitab-kitab besar. Otaknya menyerap ilmu dengan daya ingat luar biasa. Saat anak-anak seusianya bermain, Bukhari muda sibuk memburu ilmu dari para perawi ternama.
Rasa dahaga terhadap ilmu membawa Imam Bukhari menapaki jejak ilmu ke berbagai kota besar Islam. Ia mengembara ke Makkah, Madinah, Baghdad, Mesir, hingga Syam untuk mencari sanad yang kuat, mengecek keabsahan riwayat, menyaring ribuan hadis dengan ketelitian nyaris sempurna.
Perjalanan panjang itu membuahkan karya fenomenal: Shahih al-Bukhari. Ia menyusun kitab tersebut selama 16 tahun, memilih sekitar 7.000 hadis dari lebih dari 600.000 yang ia hafal. Metodologi yang ia pakai menjadi standar emas dalam kajian hadis hingga kini.
Namun, di balik kejayaan karyanya, awan mendung mulai menggantung di ujung kehidupan sang imam. Sekembalinya ke Bukhara pada masa senja, sekitar tahun 250 H, Imam Bukhari justru disambut dengan prasangka dan kecemburuan.
Awalnya Gubernur setempat Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhli meminta sang imam untuk menjadi pengajar pribadi anak-anaknya di istana. Imam Bukhari, yang menjunjung tinggi keterbukaan ilmu, menolak halus. Ia berprinsip bahwa majelis ilmu bukan hak eksklusif. Setiap orang berhak hadir tanpa sekat status.
Penolakan itu berubah jadi bara. Sang gubernur menyebar fitnah, menggiring opini masyarakat bahwa Imam Bukhari telah menyimpang. Tuduhan tak berdasar itu mengguncang reputasinya...