Brain Rot’ Mengintai Anak Muda: Konten Instan Picu Krisis Konsentrasi dan Ketidakstabilan Emosi
Reporter
Anggara Sudiongko
Editor
Dede Nana
24 - Jun - 2025, 05:48
JATIMTIMES – Anak-anak era kini bisa betah berjam-jam menatap layar, berpindah dari satu video pendek ke video lainnya, tanpa jeda, tanpa arah. Tapi di balik rutinitas yang tampak sepele itu, muncul kekhawatiran baru, yakni Brain Rot.
Istilah ini tak merujuk pada kerusakan otak secara fisik. Namun, menurut Devinta Puspita Ratri, S.Pd., M.Pd., Pakar Linguistik dan dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya (UB), Brain Rot adalah kondisi mental yang tergerus oleh konten instan yang terlalu sering dikonsumsi.
Baca Juga : Ratusan Siswa SMAN 1 Plemahan Kediri Antusias Ikuti PCX160 Gen-Z School Movement
Hal ini dapat membuat anak menjadi tidak fokus saat belajar, salah kaprah dalam memahami informasi dan kecanduan konten receh atau viral. Selain itu, imbas lainnya adalah juga dapat membuat emsoi anak tak stabil, dimana gampang marah ketika tak ada akses ke gawai.

“Konten-konten singkat itu bikin otak bekerja serba cepat. Akhirnya anak-anak kehilangan kesabaran, sulit fokus, dan makin jarang membaca,” jelas Devinta.
Fenomena ini bukan sekadar masalah perhatian jangka pendek. Dalam jangka panjang, Devinta melihat penurunan kemampuan berpikir logis, melemahnya konsentrasi, bahkan motivasi belajar yang kian menipis. “Budaya instan yang lahir dari kebiasaan menonton konten viral itu membentuk pola pikir yang dangkal,” tambahnya.
Yang membuatnya lebih miris, anak-anak dan remaja kini lebih sering mengidolakan konten viral ketimbang yang edukatif. Popularitas menjadi tolok ukur, bukan kualitas. Tak sedikit pula yang hanya ingin ikut-ikutan tren tanpa tahu makna atau konteksnya.
“Beberapa komentar anak di media sosial menunjukkan pemahaman dasar yang rendah. Sampai ada yang menyebut Garut itu negara di Eropa. Ini bukan lucu, ini mengkhawatirkan,” ujarnya dengan nada serius.
Teknologi seperti AI juga disebut turut menyumbang masalah. Meski di satu sisi bermanfaat, namun jika digunakan tanpa pemahaman, bisa mengikis kemampuan berpikir mandiri. “Banyak yang cuma copy-paste jawaban dari AI tanpa ngerti isi dan logikanya. Padahal berpikir kritis itu harus terus dilatih,” kata Devinta...