Sentot Alibasyah Prawirodirdjo: Dari Panglima Perang Diponegoro ke Letnan Kolonel Belanda
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Yunan Helmy
18 - May - 2025, 08:49
JATIMTIMES - Setelah berakhirnya Perang Jawa (1825–1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro melawan Pemerintah Hindia-Belanda, sebuah babak baru sejarah terbuka. Banyak tokoh perlawanan yang gugur, ditangkap, atau menyerah.
Salah satu tokoh paling menonjol dari kubu Diponegoro adalah Sentot Alibasyah Abdul Mustopo Prawirodirdjo, panglima muda yang terkenal karena kecerdasan taktis dan semangat juangnya. Namun, kisah hidupnya tak berhenti ketika perang usai. Justru, ia memasuki fase yang lebih kompleks secara moral dan politis: menjadi bagian dari tentara pemerintah kolonial sebagai letnan kolonel.
Baca Juga : Tampil Glamor Tanpa Mahal: Granit Eleganza dan Casanza Gebyar Diskon di Graha Bangunan
Dalam sejarah Perang Jawa (1825–1830) yang dikenang sebagai salah satu pemberontakan terbesar dalam sejarah kolonialisme Hindia Belanda, nama Sentot Alibasyah Abdul Mustopo Prawirodirdjo tak pernah lekang dari narasi utama. Sebagai panglima karismatik dan strategis dalam barisan Pangeran Diponegoro, Sentot tampil bukan sekadar sebagai juru taktik militer, melainkan juga ikon perlawanan Jawa terhadap kolonialisme Eropa. Namun, sedikit yang mengungkap dengan tajam babak kehidupannya selepas perang -saat ia memilih "jalan damai", menerima posisi dalam struktur militer kolonial, dan memulai fase baru dalam sejarah yang penuh dilema, intrik politik, dan strategi diam-diam seorang nasionalis revolusioner yang terpaksa tunduk pada kekuatan zaman.
Penyerahan dan Masuknya Sentot ke Yogyakarta
Pada 24 Oktober 1829, di tengah situasi militer yang telah berubah drastis, Sentot beserta pengiringnya memasuki Yogyakarta, bekas pusat keraton yang kini berada dalam kendali ketat Belanda. Peristiwa ini bukan sekadar serah diri, melainkan hasil kompromi yang panjang dan rumit antara kepentingan politik, militer, dan personal. Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu, Johannes van den Bosch, dan Letnan Jenderal De Kock memandang Sentot sebagai figur potensial yang tak bisa diremehkan. Surat De Kock kepada De Klerck dalam jilid ke-5 buku De Java-oorlog van 1825–1830 menyebutkan:
“De voorwaarden door Prawirodirdjo aan zijn onderwerping verbonden, waren niet overdreven…”—syarat-syarat Sentot dalam menyerahkan diri tidaklah berlebihan, dan jika tidak diterima, besar kemungkinan ia akan kembali ke pegunungan untuk kembali melakukan perang gerilya yang melelahkan bagi pasukan kolonial.
Namun, konsesi itu bukan tanpa strategi...