Klub Rahasia Hamengkubuwana V: Intrik, Perlawanan Diam-Diam, dan Krisis Takhta di Balik Dinding Keraton Yogyakarta (1845–1849)
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Sri Kurnia Mahiruni
10 - May - 2025, 03:17
JATIMTIMES - Di balik tembok batu dan pendapa berlapis ukiran emas Keraton Yogyakarta, pada pertengahan abad ke-19, tersembunyi sebuah kisah penuh intrik, konspirasi, dan ambisi tersembunyi. Ini bukan sekadar catatan kehidupan bangsawan yang gemerlap.
Di dalamnya terdapat upaya sistematis seorang raja muda, Hamengkubuwana V untuk menggoyang tatanan lama dan menyusun kembali kekuasaan dengan membentuk sebuah kelompok eksklusif: Klub Rahasia Tumenggung Sclusin.
Baca Juga : Askab PSSI Banyuwangi Siap Songsong Porprov Jawa Timur IX 2025
Dibentuk secara senyap sekitar tahun 1845–1846, klub ini pada awalnya dianggap tidak lebih dari kumpulan para bangsawan muda dan pejabat rendahan yang gemar berjudi dan bersenang-senang. Namun, di balik aktivitas sosial mereka yang tampak ringan, tersembunyi cita-cita politik yang radikal dan kekhawatiran para elite kolonial akan munculnya arus bawah perlawanan di pusat kekuasaan Jawa.
Hamengku Buwono V: Sultan Anak-Anak di Tengah Badai Sejarah
Pada fajar abad ke-19, ketika dunia Jawa diguncang oleh gejolak kolonialisme dan letupan resistensi pribumi, lahirlah seorang bayi laki-laki di lingkungan Keraton Yogyakarta. Ia adalah Gusti Raden Mas Gatot Menol, putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono IV dan Gusti Kanjeng Ratu Kencono. Lahir pada 20 Januari 1821, ia tidak lahir untuk masa kanak-kanak yang biasa. Sejarah telah menulisnya dalam jalur berbeda: menjadi raja di usia tiga tahun.
Ketika ayahandanya, Hamengku Buwono IV, wafat pada 1823, Keraton Yogyakarta dihadapkan pada situasi genting: seorang bayi yang harus memangku kekuasaan. Maka, demi menjaga stabilitas, dibentuklah sebuah Dewan Perwalian. Isinya adalah tokoh-tokoh utama keraton: Ratu Ageng (nenek buyut yang juga permaisuri Sultan HB III), Ratu Kencono (ibunda Sultan), Pangeran Mangkubumi (putra HB II), dan Pangeran Diponegoro, sepupu sultan yang cemerlang. Namun, posisi mereka tak mencakup kekuasaan penuh. Pemerintahan praktis dijalankan oleh Patih Danurejo III, di bawah pengawasan langsung Residen Belanda. Inilah simbol dari krisis kekuasaan: raja belum dewasa, wali hanya penasihat, dan kendali sesungguhnya berada di tangan kolonial.
Situasi ini diperparah oleh konflik internal dan eksternal. Tahun 1825, Pangeran Diponegoro, yang sebelumnya menjadi bagian dari Dewan Perwalian, menyatakan perang terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ia merasa dilecehkan oleh kebijakan tanah, tekanan pajak, hingga degradasi adat keraton...