Sekolah Sampai Entek: Dosen Perempuan Unisba Blitar Menyalakan Obor Kartini di Tengah Stereotip
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Nurlayla Ratri
21 - Apr - 2025, 01:33
JATIMTIMES - Di balik pagar kampus Universitas Islam Balitar (Unisba) Blitar, seorang perempuan berdiri tegak membawa semangat Kartini yang tetap menyala. Ia bukan hanya dosen, tapi juga ibu, pembelajar seumur hidup, dan penggerak pemberdayaan. Dialah Dr. Nik Haryanti, M.Pd.I, akademisi yang membuktikan bahwa pendidikan tinggi bukan monopoli kaum pria.
Lahir dari keluarga petani, Nik menapaki jenjang pendidikan tanpa sokongan beasiswa negara. Ia menuturkan, beasiswanya berasal dari “Gusti Allah”—sebuah ungkapan spiritual yang mencerminkan keteguhan dan keyakinan bahwa ilmu adalah jalan cahaya. Dari sarjana, magister, hingga doktor, ia melangkah dengan tekad perempuan yang tak ingin menyerah pada nasib.
Baca Juga : Tingkatkan Layanan Bagi Disabilitas di Kediri, Mbak Vinanda Launching Bus MAPAN CERIA
“Saya ingin menjadi contoh bahwa perempuan bisa menyelesaikan sekolah hingga tuntas, bahkan sampai S3,” katanya dalam rilis yang diterima redaksi ini, Senin, 21 April 2025, bertepatan dengan Hari Kartini. Pesannya pada anak-anaknya sederhana, tapi tajam: “Sekolahlah sampai entek.”
Hari Kartini memang selalu menjadi ruang refleksi tentang relasi perempuan dan pendidikan. Raden Ajeng Kartini dulu menulis tentang kegelisahan kaum perempuan yang dikekang adat, dibatasi ruang. Hari ini, bayang-bayang itu masih ada. Stereotip bahwa perempuan cukup berakhir di dapur, sumur, dan kasur belum benar-benar punah.
Menurut Nik, masih banyak masyarakat yang menganggap pendidikan tinggi lebih penting bagi laki-laki. "Padahal, perempuan adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Ilmu yang ia peroleh bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk membentuk generasi yang lebih baik," ujarnya dalam pernyataan tertulis.
Pendidikan, tegasnya, tak akan pernah sia-sia. Perempuan dengan wawasan dan akhlak akan melahirkan anak-anak yang cerdas dan tangguh. Dalam jangka panjang, ini berdampak pada kualitas bangsa. Ia mengamini kalimat bijak yang sering dikutip para pegiat emansipasi: “Perempuan itu tiang negeri.”
Namun, jalan menuju pendidikan tinggi tak selalu lapang. Biaya mahal, tekanan ekonomi, dan pandangan konservatif menjadi penghalang. Ia menyebut, masih banyak orang tua yang ragu menyekolahkan anak perempuannya, takut kalau akhirnya hanya menjadi ibu rumah tangga. Padahal, menurutnya, menjadi ibu rumah tangga yang terdidik justru aset bangsa.
Ada juga kisah lain: orang tua tanpa pendidikan tinggi tapi memiliki mimpi besar untuk anak perempuannya...