Dendam Pekik, Tahta Mataram: Kebangkitan Raden Mas Rahmat Melawan Amangkurat I
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
A Yahya
17 - Apr - 2025, 03:01
JATIMTIMES - Persekongkolan Putra Mahkota Raden Mas Rahmat—kelak Amangkurat II—dengan Pangeran Purbaya merupakan salah satu babak paling gelap dalam sejarah internal Dinasti Mataram Islam abad ke-17. Sejarah ini bukan sekadar riwayat perseteruan antara ayah dan anak, melainkan intrik kekuasaan yang berpangkal pada luka lama, dendam darah, dan ambisi membara di balik tembok keraton yang makin retak oleh krisis legitimasi.
Wafatnya Pangeran Pekik—mertua Sunan Amangkurat I—pada awal 1659 menjadi awal dari kemelut panjang yang mengoyak stabilitas politik Mataram. Berbagai sumber sezaman, seperti Daghregister, catatan Valentijn, serta laporan Evert Michielsen dan David Luton, memberikan gambaran betapa keraton pada dekade 1660-an menjadi arena penuh kecurigaan, racun, dan pengkhianatan.
Kelahiran dan Garis Darah Raden Mas Rahmat
Baca Juga : Sultan Murad IV dan Kisah Wali Allah yang Tersembunyi di Balik Miras dan Pelacur
Raden Mas Rahmat lahir dari Sunan Amangkurat I dan Kanjeng Ratu Pangayun (Ratu Ageng), putri Pangeran Pekik dari kerajaan Surabaya. Penyatuan dua dinasti besar ini (Mataram dan Surabaya) bertujuan mengonsolidasikan kekuasaan, tetapi kehilangan ibunya sejak dini—yang wafat 40 hari pascapersalinan dan dimakamkan di Girilaya—meninggalkan kekosongan pengaruh perempuan di pusat kekuasaan.
Nama “Rahmat” merujuk pada Sunan Ampel (Raden Rahmat), mengindikasikan sebuah harapan akan legitimasi spiritual sekaligus pengakuan atas genealogi suci dari garis Surabaya, yang secara konsisten diklaim sebagai keturunan langsung Wali Songo. Kerajaan Surabaya, dalam konteks ini, menegaskan identitasnya sebagai pewaris darah dan ajaran Sunan Ampel.
Pangeran Pekik—kakek Raden Mas Rahmat sekaligus mertua Amangkurat I—adalah putra Panembahan Jayalengkara, Raja Surabaya terakhir. Ia merupakan keturunan Sunan Ampel dari garis Walisongo dan bagian dari trah Ahlul Bait. Kehidupannya berlangsung di tengah masa transisi kekuasaan, dari dominasi pesisir Islam warisan Demak menuju hegemoni kekuatan agraris Mataram. Sebagai simbol rekonsiliasi antara Jawa Timur (Surabaya) dan Jawa Tengah (Mataram), Pangeran Pekik tampil sebagai figur sentral dalam politik penyatuan pasca-penaklukan Surabaya oleh Mataram pada tahun 1625...