Polemik Tarif Impor Trump, Pakar Unair Tekankan Negosiasi Jadi Solusi Terbaik
Reporter
Muhammad Choirul Anwar
Editor
Sri Kurnia Mahiruni
12 - Apr - 2025, 06:34
JATIMTIMES - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menunda kenaikan tarif resiprokal selama 90 hari untuk puluhan negara, termasuk Indonesia. Kendati demikian, AS tetap memberlakukan persentase tarif timbal balik untuk seluruh negara sebesar 10 persen terhitung per 5 April lalu.
Bersamaan dengan pemberlakuan persentase terbaru itu, selama 90 hari ke depan, AS akan bernegosiasi dengan berbagai negara. Pakar ekonomi internasional Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) Prof Rossanto Dwi Handoyo SE MSi PhD, angkat bicara terkait hal ini.
Baca Juga : Polresta Banyuwangi Dukung Ketahanan Pangan dengan Manfaatan Lahan Pekarangan untuk Budi Daya Ikan Lele
Prof Rossanto menekankan, jalur negosiasi adalah solusi terbaik mengingat AS adalah mitra dagang penting. Hal ini didasari dengan fakta bahwa bukan hanya ekspor Indonesia yang tinggi ke AS, namun juga dalam hal impor masih memerlukan Amerika di berbagai sektor seperti jasa, sektor keuangan, kedelai impor.
“Kita harus melihat proporsional bahwa Amerika penting bagi kita, jangan sampai pasar yang sudah ada di Amerika yang labour intensive ini akan hilang. Lakukan diplomasi yang soft agar Amerika bisa menurunkan tarif, kita juga menurunkan tarif untuk Amerika agar dapat memperoleh jalan tengah,” ungkapnya.
Penundaan tarif impor sebesar 32 persen merupakan momentum bagi pemerintah Indonesia untuk menempuh negosiasi. Sebab, jika 3 bulan masa penanggulangan usai dan kebijakan tarif impor Trump diterapkan sebesar 32 persen, maka Indonesia akan menanggung konsekuensi besar.
Prof Rossanto menyebut bahwa harga barang impor dari Indonesia di Amerika akan semakin naik. Kenaikan harga ini dapat menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar Amerika yang menyebabkan turunnya neraca perdagangan dan surplus Indonesia.
“Tanpa upaya yang jelas, maka surplus akan berkurang dan neraca perdagangan indonesia akan mengalami defisit serta pertumbuhan ekonomi menurun. Dengan fakta prediksi pertumbuhan ekonomi yang hanya 4,9 persen, maka GDP akan turun karena Amerika merupakan salah satu negara tujuan utama ekspor Indonesia,” ungkapnya.
Prof Rossanto juga menyebut penurunan daya saing produk Indonesia di Amerika dapat menyebabkan risiko tutupnya industri yang bergerak dalam produksi komoditas ekspor, meningkatkan pengangguran serta investasi di beberapa sektor ekspor ke Amerika akan turun...