JATIMTIMES – Ratusan mahasiswa dan petani tumpah ruah di jalanan Blitar pada Rabu siang, 24 September 2025. Mereka berangkat dari Simpang Empat Kanigoro, lalu berjalan kaki menuju Kantor Bupati Blitar. Sambil mengibarkan poster dan spanduk tuntutan, mereka memperingati Hari Tani Nasional dengan satu pesan utama: keadilan agraria tidak bisa ditunda.
Di depan pintu gerbang kantor bupati, massa berhenti dan menggelar orasi. Teriakan lantang menuntut pemerintah pusat maupun daerah terdengar bergema. Aliansi mahasiswa dan petani itu membawa sembilan tuntutan, mulai dari pencabutan Undang-Undang Cipta Kerja hingga percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Reforma Agraria.
Baca Juga : Ladang Tebu di Lahan Milik Desa Sitirejo Dilahap Si Jago Merah
Koordinator aksi, Vita Nerizza Permai, menegaskan bahwa gerakan ini bukan sekadar seremonial tahunan. “Ada fokus nasional, ada isu lokal. Nasionalnya, kami menuntut penghapusan UU Cipta Kerja dan penyelesaian konflik agraria. Isu lokalnya, menyangkut sengketa tanah di sejumlah wilayah Kabupaten Blitar yang belum terselesaikan,” katanya dalam orasi yang disambut tepuk tangan para peserta.
Reforma agraria sejati, menurut para demonstran, masih jauh dari harapan. Mereka menuntut agar Undang-Undang Pokok Agraria 1960 dijalankan secara konsisten dan konsekuen. Di tingkat daerah, Pemkab Blitar didesak segera menyelesaikan konflik yang sudah masuk daftar prioritas reforma agraria.
Beberapa desa menjadi sorotan, antara lain Gadungan dan Sumberbawang di Kecamatan Gandusari, serta Sidodadi di Kecamatan Doko. Ketiganya sudah termasuk lokasi prioritas reforma agraria versi Konsorsium Pembaruan Agraria, tetapi penyelesaiannya mandek. Massa juga menyinggung redistribusi tanah di Desa Modangan, bekas perkebunan Karangnongko, yang dinilai belum transparan.
Selain itu, mereka mendesak pemerintah daerah menuntaskan pemberian surat keputusan terhadap masyarakat yang sudah masuk dalam usulan reforma. Pemberantasan mafia tanah pun menjadi tuntutan keras. “Kami ingin pemerintah hadir di tengah rakyat, bukan justru berpihak pada kepentingan kapitalisme,” ujar Vita.
Meski massa berjumlah ratusan, aksi berlangsung tertib. Polres Blitar menurunkan 212 personel, ditambah satu pleton Brimob dari Malang, untuk menjaga jalannya demonstrasi. Dukungan pengamanan juga datang dari Dinas Perhubungan dan Satpol PP Kabupaten Blitar. Arus lalu lintas sempat tersendat di sekitar Kanigoro, tetapi segera normal kembali setelah barisan massa tiba di kantor bupati.
Kondisi damai ini menegaskan bahwa aksi mahasiswa dan petani bukanlah perlawanan anarkis, melainkan upaya dialog terbuka dengan pemerintah.
Baca Juga : Polresta Malang Kota Gandeng Media Perkuat Sinergi Kawal Pemberitaan Positif
Bupati Blitar, Rijanto, akhirnya menemui perwakilan massa. Ia menyatakan memahami keresahan yang disampaikan dan berkomitmen menindaklanjuti aspirasi tersebut melalui jalur resmi. Menurut penuturan Vita, hasil audiensi menghasilkan kesepahaman. “Bupati menyepakati sejumlah tuntutan dan berjanji akan menyelesaikan konflik melalui instansi terkait,” ujarnya.
Rijanto menilai aksi ini sebagai bagian dari dinamika demokrasi lokal. Ia menyebut aspirasi yang disuarakan mahasiswa dan petani merupakan pengingat bahwa persoalan agraria menyentuh langsung kehidupan masyarakat bawah. “Kami akan memperkuat tim gugus tugas reforma agraria dan menindaklanjuti surat Kementerian Dalam Negeri tahun 2021,” kata bupati dalam pertemuan terbatas dengan perwakilan massa.
Aksi di Blitar itu menutup Hari Tani Nasional dengan catatan penting: tuntutan agraria bukan sekadar jargon, melainkan kebutuhan nyata yang menyentuh perut rakyat. Suara lantang petani dan mahasiswa menjadi penanda bahwa janji reforma agraria harus diwujudkan, bukan ditunda.