free web hit counter
Jatim Times Network
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Dari Amangkurat II hingga Perisai Terakhir Amangkurat III: Jejak Ingabehi Katawangan, Penguasa Kediri

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

15 - Sep - 2025, 08:49

Loading Placeholder
Makam Ingabehi Katawangan di Astana Gedong, Desa Sukodono, Kecamatan Karangrejo, Kabupaten Tulungagung, perwira Kediri yang menjadi perisai terakhir Amangkurat III. (Foto: koleksi pribadi Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan Mataram diguncang pergolakan besar yang menguji daya tahannya. Wafatnya Amangkurat I dalam pelarian pada 1677 meninggalkan tahta kepada putranya, Raden Mas Rahmat yang kemudian bergelar Amangkurat II. 

Sang raja baru segera dihadapkan pada krisis legitimasi, gelombang pemberontakan, dan kekacauan internal yang belum mereda. Sementara itu, wilayah Mancanegara Timur yang mencakup Blitar, Kediri, Jombang, hingga Panaraga menjadi panggung perebutan pengaruh antara kekuatan lokal dan pusat kerajaan. 

Baca Juga : Dari Kediri ke Majapahit: Fadli Zon Rencanakan Pemugaran Candi Penataran di Blitar 

Di tengah pusaran ini, nama-nama seperti Trunajaya, Arya Kertosono, dan Ingabehi Katawangan mencuat sebagai tokoh kunci, entah untuk mempertahankan atau justru menantang hegemoni Mataram. 

Artikel ini menyoroti peran serta posisi politik Ingabehi Katawangan sebagai penguasa Kediri, sekaligus mengurai dinamika kekuasaan di Mancanegara Timur dalam konteks pertahanan dan reorganisasi pasca pemberontakan Trunajaya.

Konteks Politik Pasca Trunajaya dan Konsolidasi Mataram

Perlawanan Trunajaya pada 1674 hingga 1679 menghantam inti kekuasaan Mataram dan membuka era desentralisasi. Meskipun akhirnya dipadamkan oleh gabungan pasukan Mataram dan VOC, dampaknya menjalar luas, merombak jaringan kekuasaan yang ada. 

Banyak kadipaten di Mancanegara Timur, termasuk Kediri, terlepas dari kendali pusat. Amangkurat II menyadari bahwa pemulihan politik harus dimulai dengan memetakan kembali wilayah kekuasaan dan meneguhkan ulang loyalitas para adipati.

Catatan administratif dari tahun 1678 dan 1679 menunjukkan pemetaan ulang wilayah dan identifikasi adipati yang setia. Wilayah seperti Kertosono, Kadipaten Berbek, dan Pakuncen mulai dicatat kembali sebagai bagian dari Mataram. Namun beberapa wilayah, seperti Kediri, tetap problematik karena pengaruh lama Trunajaya belum sepenuhnya surut.

Trunajaya

Ingabehi Katawangan: Profil Penguasa Kediri

Nama Ingabehi Katawangan muncul dalam laporan François Valentijn (1680–1684) sebagai pemimpin wilayah Kediri. Ia digambarkan sebagai tokoh lokal yang menguasai wilayah sepanjang aliran Sungai Brantas, di jantung Kediri. 

Kedudukan Ingabehi Katawangan menempatkannya di antara loyalitas ganda: antara kehendak pusat Mataram dan realitas kekuatan lokal. Seperti disebut Valentijn dalam Oud en Nieuw Oost-Indien, terdapat 22 pemerintahan dalam negeri yang masih berada di bawah Mataram Islam, di antaranya Kediri, meski hubungan politiknya bersifat nominal.

Data penyerahan hasil bumi tahun 1704 pada masa Amangkurat III menunjukkan bahwa wilayah Kediri, di bawah Ingabehi Katawangan, menyerahkan benang katun, kulit kerbau, dan pohon panjang. Ini merupakan indikator penting bahwa Kediri telah kembali dalam orbit administratif Mataram. 

Namun, bentuk tribut ini bukan hanya soal ekonomi; ia menjadi alat politik untuk mengikat adipati secara simbolik dan praktis pada pusat kekuasaan Kartasura.

Komoditas seperti benang katun dan kulit kerbau mencerminkan struktur ekonomi agraris-subsisten yang berkembang di Kediri. Sementara itu, kayu pohon panjang menjadi simbol kekuatan logistik, mungkin digunakan dalam pembangunan atau pertahanan istana. Pajak bukan sekadar kewajiban ekonomi, melainkan alat diplomasi dan kontrol.

Data dari masa Sultan Agung (1613–1645) mencatat bahwa Kediri memiliki luas sekitar 4.000 cacah dengan pajak 1.000 real batu per tahun. 

Angka ini menunjukkan bahwa Kediri memiliki potensi demografis dan ekonomi menengah, namun penting secara strategis karena letaknya di jantung jalur Brantas. Dalam konteks militer, Kediri menjadi penyangga antara pusat Kartasura dan daerah-daerah liar di pesisir timur seperti Blambangan atau Panaraga.

Astana Gedong

Jaringan Kekuasaan Mancanegara Timur

Dalam catatan Valentijn, wilayah sekitar Kediri pada akhir abad ke-17 berada di bawah kendali sejumlah tokoh penting yang menggambarkan kompleksitas struktur kekuasaan lokal. Di Kertosono berkuasa Ingabehi Wiradiredja, sementara di Blitar tampak pengaruh kuat dari Ingabehi Wira Patra. 

Di wilayah Ngrowo, jabatan penguasa dipegang oleh Tumenggung Wiradadaha, sedangkan Pakuncen berada di bawah otoritas Ingabehi Derpa Joeda. Adapun wilayah Berbek dipimpin oleh seorang Demang bernama Watsiana.

Konstelasi ini mengindikasikan keberadaan jaringan kekuasaan yang berlapis, di mana gelar-gelar seperti “Ingabehi”, “Tumenggung”, dan “Demang” merepresentasikan hierarki sosial-politik yang khas dalam sistem pemerintahan Jawa. 

Kehadiran para tokoh tersebut menunjukkan bahwa Kediri tidak berdiri sendiri, melainkan berada dalam simpul interaksi kekuasaan yang saling terkait, dengan Kediri memainkan peran sentral sebagai kota besar sekaligus penghubung ekonomi dan politik antar-wilayah.

Purbaya

Warisan Politik dan Strategi Pertahanan Mancanegara Timur

Sejak abad pertengahan, Kediri dikenal sebagai pusat keagamaan dan budaya Jawa Timur. Tradisi tutur menyimpan narasi perlawanan terhadap kekuasaan pusat Mataram, diperkuat oleh kehadiran tokoh spiritual seperti Sunan Bonang dan keturunan Majapahit yang pernah menetap di wilayah ini. 

Memori sejarah dan otoritas spiritual tersebut memberi legitimasi moral bagi para penguasa lokal.

Dalam konteks ini, kekuasaan Ingabehi Katawangan tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga memiliki makna sakral. Ia berdiri di tanah yang menyimpan jejak perlawanan dan otoritas spiritual, sehingga kesetiaannya pada Mataram lebih merupakan strategi taktis daripada pilihan ideologis.

Pasca pemberontakan Trunajaya, hubungan antara pusat di Kartasura dan daerah-daerah Mancanegara Timur, termasuk Kediri, bergeser menjadi hubungan timbal balik. Pusat memerlukan pajak dan stabilitas, sedangkan daerah membutuhkan legitimasi serta perlindungan. Namun ketegangan tetap ada. 

Laporan Schrieke pada tahun 1957 mencatat bahwa sebagian wilayah tidak tercatat dalam registrasi karena situasi yang tidak stabil dan perlawanan tersembunyi. Banyak adipati secara resmi tunduk pada Mataram, namun tetap mempertahankan otonomi dalam praktik.

Catatan administrasi dan sumber primer dari masa Amangkurat II hingga Amangkurat III menunjukkan adanya upaya sistematis membangun pertahanan berbasis kadipaten, dengan potensi militer dan ekonomi yang terikat melalui pajak, logistik, dan loyalitas politik. Di bawah kepemimpinan Ingabehi Katawangan, Kediri tampil sebagai simpul penting pertahanan di timur, memadukan kekuatan militer, jaringan kekuasaan lokal, dan tradisi spiritual.

Baca Juga : Dari Kediri ke Majapahit: Fadli Zon Rencanakan Pemugaran Candi Penataran di Blitar 

Katawangan mewakili masa transisi antara kemandirian lokal dan integrasi dalam sistem kerajaan Jawa yang berpusat di Kartasura. Ia adalah simbol diplomasi politik khas Jawa yang mampu tunduk tanpa sepenuhnya takluk, serta menyerah tanpa kehilangan otonomi. 

Dalam sejarah panjang Jawa, Kediri tidak sekadar menjadi wilayah administratif, tetapi juga narasi daya tahan lokal. Nama Katawangan bergema sebagai simbol politik akomodasi sekaligus keteguhan identitas, mewakili semangat sekaligus dilema Kediri pada zamannya.

Sultan Agung

Katawangan, Perisai Terakhir Amangkurat III

Dalam pusaran konflik takhta Mataram pasca wafatnya Amangkurat II pada 1703, muncul satu tokoh militer yang namanya nyaris tenggelam oleh debu sejarah, yaitu Ingabehi Katawangan. 

Tokoh ini bukan hanya simbol loyalitas pada Amangkurat III, tetapi juga menjadi perisai pertahanan terakhir sang Susuhunan di kawasan timur, khususnya Kediri. Keberadaan Katawangan memperlihatkan bagaimana sisa-sisa struktur kekuasaan lokal tetap memainkan peran penting dalam dinamika politik Jawa awal abad ke-18.

PB I

Konteks sejarahnya adalah perang saudara antara Amangkurat III dan Pakubuwana I yang didukung VOC. Sejak pertarungan ini dimulai, kekuasaan Mataram terbelah. Kartasura menjadi pusat loyalis Pakubuwana, sementara Amangkurat III membangun basis kekuatan di wilayah timur: Kediri, Malang, dan Pasuruan. Di titik inilah Ingabehi Katawangan tampil sebagai komandan pasukan Kediri yang setia pada Amangkurat III.

Pertempuran besar antara pasukan Kartasura (yang mendukung Pakubuwana I) dan Kediri meletus di Gulatik. Pangeran Purbaya, putra Pakubuwana, memimpin ekspedisi ini. Katawangan memimpin pertahanan Kediri dengan gigih. 

Meski akhirnya kalah dan mundur, ia tetap menjadi garda terdepan loyalitas Amangkurat III. Dalam laporan kepada rajanya, ia menyatakan bahwa ia telah terpukul mundur dan banyak prajuritnya gugur. Amangkurat III, setelah mendengar laporan ini, segera melarikan diri ke tenggara, menandai runtuhnya Kediri sebagai basis pertahanan.

Menariknya, keterlibatan Katawangan bukan sekadar militer. Ia adalah bagian dari struktur kekuasaan lokal yang bertumpu pada tradisi feodal Jawa. Jabatan "Tumenggung" menandakan ia adalah elite lokal, mungkin keturunan bangsawan lama Kediri yang diberi kepercayaan oleh pusat kekuasaan Mataram. 

Dalam struktur semacam ini, loyalitas politik sangat dipengaruhi oleh kedekatan genealogis dan spiritual dengan raja. Dalam banyak hal, Katawangan mengingatkan kita pada model "prajurit santri" atau "kesatria kawula" dalam historiografi tradisional: prajurit yang mengabdi dengan sepenuh jiwa.

Setelah kekalahan di Gulatik, gelombang perang beralih ke Pasuruan. Untung Surapati, tokoh pemberontak anti VOC sekaligus pelindung Amangkurat III, menjadi aktor kunci dalam pertempuran lanjutan. Namun wafatnya Surapati akibat luka tembakan menjadi titik balik. Ketika pasukan gabungan VOC, Pangeran Purbaya, dan elite pesisir Madura menyerbu Pasuruan, barisan loyalis Amangkurat III terpukul hebat. Putra Surapati, Raden Surahim dan Suradilaga, tidak memiliki kharisma maupun kekuatan seperti sang ayah. 

Satu demi satu perwira mereka gugur. Bahkan mayat Surapati, ketika ditemukan, tidak mempan dibakar, sebuah peristiwa yang memperkuat mitos spiritual yang menyelubungi tokoh ini.

Sementara itu, Amangkurat III terus bergerilya, bergerak ke Malang dan Blitar. Di wilayah-wilayah ini, sisa-sisa kekuatan lokal tetap memberi perlindungan, termasuk mungkin dari jejaring yang pernah dipimpin oleh Katawangan. Namun pengaruhnya makin menipis. Pasukan Pakubuwana I terus mendesak. 

Dalam pertempuran terakhir di Malang, barisan Pasuruan menerapkan taktik yang menyerupai burung pipit, yaitu tiba tiba menyerang lalu mundur cepat, tetapi pada akhirnya mereka tetap dikalahkan.

Nama Katawangan tidak lagi muncul dalam catatan setelah peristiwa itu. Mungkin ia gugur di tengah runtuhnya Kediri, atau memilih bertahan dalam diam sebagai abdi di balik bayang-bayang sejarah. Yang jelas, perannya sebagai perisai terakhir Amangkurat III menunjukkan bahwa sejarah Jawa tidak semata ditentukan oleh raja dan kompeni, tetapi juga oleh para perwira lokal yang bertempur demi kehormatan dan sumpah kesetiaan.

Catatan Akhir

Katawangan

Perjalanan menelusuri jejak Ingabehi Katawangan akhirnya membawa kita ke Astana Gedong di Desa Sukodono, Kecamatan Karangrejo, Tulungagung, sebuah kompleks pemakaman kuno yang menjadi saksi lintas zaman. 

Di sinilah, di tanah yang pernah dikenal sebagai Kucen, pusat pemerintahan pada masa lalu, jasad sang perisai terakhir Amangkurat III beristirahat. Astana Gedong menyimpan lapisan sejarah, mulai dari patung Buddha Aksobya yang kini berada di Museum Wajakensis hingga nisan berangka tahun 1548 yang menandakan tuanya kompleks ini. 

Seiring perubahan zaman, tempat yang dahulu disucikan itu beralih menjadi makam keluarga istana, namun ruh masa silam tetap bersemayam di setiap batu dan tanahnya.

Di antara sunyi pepohonan dan batu nisan yang renta, nama Katawangan kembali bersuara. Ia bukan sekadar tokoh yang hilang di catatan kronik, melainkan bagian dari kisah panjang Jawa yang bercerita tentang kesetiaan, kehormatan, dan keberanian yang menolak dilupakan. Dan di balik namanya terpatri pula bayangan Amangkurat III, raja yang ia bela hingga titik akhir, mengikat keduanya dalam satu babak sejarah yang tak lekang oleh waktu.


Topik

Serba Serbi amangkurat ii trunajaya ingabehi ketawangan kediri mataram



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Indonesia Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana

--- Iklan Sponsor ---