JATIMTIMES - Pada tahun 1677, jauh di lereng selatan Pegunungan Wilis, di wilayah Ponorogo yang saat itu menjadi bagian penting dari lintasan selatan Mataram, terjadi sebuah babak perlawanan rakyat yang terlupakan dalam narasi besar historiografi Jawa abad ke-17.
Di tempat inilah Raden Kajoran, tokoh mistik-politik yang telah lama menjadi duri dalam daging Kesultanan Mataram, bertransformasi dari seorang bangsawan spiritual menjadi inspirator pemberontakan rakyat. Bersama cucu Pangeran Tepasana, Raden Gogok, dan jaringan perlawanan lokal yang menjangkau hingga Madura, Kajoran mengilhami bangkitnya "gelombang dari selatan" yang mengguncang kekuasaan Sunan Amangkurat I.
Baca Juga : Profil Manisa BBSK, Klub Baru Megawati Hangestri di Turki
Peristiwa di Ponorogo ini terjadi bersamaan dengan ofensif besar Trunajaya dari arah timur, menciptakan tekanan ganda yang nyaris melumpuhkan jantung Mataram. Perlawanan yang meletus bukan semata pemberontakan bersenjata, tetapi juga manifestasi dendam sejarah, spiritualitas Islam-Jawa, dan resistensi terhadap sistem kekuasaan absolut yang korup dan disfungsional.
Raden Kajoran: Dari Taji ke Pangaran
Bertentangan dengan cerita tutur Jawa, Raden Kajoran tidak langsung melarikan diri ke Jawa Timur setelah kekalahannya di Taji pada akhir 1676. Berdasarkan catatan harian Kiai Mirmagati, syahbandar yang juga bertindak sebagai penerjemah VOC, pada 5 Februari 1677 disebutkan bahwa sekitar 1.000 orang dari kawasan pantai selatan sedang bergerak menuju Mataram dengan niat permusuhan. Mereka berada di Semangi, dekat Bengawan Solo, hanya sehari perjalanan dari ibu kota.
Empat hari kemudian, informasi yang lebih rinci diperoleh dari Tanumenggala: musuh diperkirakan berjumlah antara 5.000 hingga 10.000 orang, dipimpin oleh Raden Gogok, cucu Pangeran Tepasana, salah satu anggota keluarga istana yang memiliki motif balas dendam atas pembunuhan anggota keluarganya pada 1661 oleh perintah Sunan sendiri.
Catatan VOC pada 12 Februari mencatat keberadaan Kajoran di "Pangaran" (kemungkinan besar merujuk pada wilayah Ponorogo), sekitar tiga hari perjalanan ke timur Mataram. Ia memakai gelar Panembahan Amattagama atau Panatagama, dan hidup menyendiri layaknya pertapa. Namun di balik pengasingan itu, Kajoran aktif menggerakkan massa melalui karisma spiritual dan jaringan keluarga—ia bukan sekadar pelarian, tapi pusat medan magnet perlawanan ideologis.
Dendam Pangeran Tepasana dan Kebangkitan Jaringan Selatan
Tidak mengherankan bila Pangeran Tepasana—dan keturunannya—memilih berpihak pada gerakan anti-Sunan Amangkurat I. Peristiwa eksekusi anggota keluarga mereka pada 1661 menjadi luka historis yang belum sembuh. Gerakan ini tidak hanya membangkitkan jaringan aristokrat marginal, tapi juga menyatukan kekuatan rakyat pesisir selatan, dari pantai selatan hingga tanah pedalaman.
Kekuasaan Tanumenggala mulai terkikis akibat aksi-aksi ofensif dari pasukan Gogok. Menariknya, dalam operasi itu tidak ditemukan keterlibatan tentara bayaran Makassar maupun Sampang, melainkan hanya milisi lokal yang dengan terang-terangan menyatakan kesetiaan pada Trunajaya. Ini menandai transformasi penting: pemberontakan tidak lagi bergantung pada kekuatan eksternal, melainkan tumbuh sebagai gerakan lokal dengan legitimasi moral dan ideologis.
Raden Trunajaya, dalam suratnya kepada utusan Belanda tertanggal 5 Februari 1677, menyebut bahwa semua penasihatnya telah dikirim ke Mataram dan sekitarnya untuk melancarkan perang. Ia bahkan menduga bahwa Sunan telah meninggalkan Mataram dan menyerahkan kekuasaan kepada keempat putranya. Ini bukan sekadar propaganda, karena pengamatan VOC menunjukkan gejala-gejala bahwa istana memang kehilangan sentralitas politik.
Trunajaya secara terbuka menyebut dirinya sebagai keturunan raja Majapahit dan mengklaim hak atas takhta Mataram, sebagaimana termaktub dalam catatan Opkomst (jilid VII, hlm. 929–993). Dengan kata lain, konflik tahun 1677 adalah juga perebutan legitimasi warisan peradaban Jawa antara dua garis kekuasaan: Mataram Islam dan warisan Hindu-Buddha Majapahit yang bertransformasi dalam gerakan Trunajaya-Kajoran.
Laporan pejabat istana Jagapati, yang berangkat dari 16 Februari hingga 14 Maret 1677, mencatat bahwa pada 6 Maret, pasukan Pangeran Kajoran telah berkemah di seberang Bengawan Solo dan siap mengepung Mataram. Dengan kekuatan sekitar 20.000 orang, mereka bermaksud menduduki pusat kekuasaan dan selanjutnya bergerak ke Jepara untuk mengusir VOC.
Namun, sebelum niat itu terealisasi, laporan dari Jepara tertanggal 21 Maret mengindikasikan bahwa operasi gabungan Mataram dan VOC berhasil mengusir Kajoran. Ia dilaporkan melarikan diri ke Kediri. Ini menjadi penanda bahwa meskipun secara ideologis kuat, logistik dan koordinasi pasukan selatan belum mampu menandingi mesin kekuatan militer VOC-Mataram.
Tidak tinggal diam, dari dalam Mataram dilancarkan serangan balasan ke arah utara, dipimpin oleh Pangeran Martasana. Serangan ini merupakan upaya simbolik mengembalikan kewibawaan istana dan menunjukkan bahwa kekuasaan pusat masih punya gigi. Namun, pertempuran yang berlangsung sporadis dan brutal ini menunjukkan bahwa Mataram tidak lagi menjadi satu entitas politik-militer yang stabil.
Historiografi dan Spiritualitas Perlawanan
Historiografi resmi kolonial seringkali mengecilkan peran Kajoran dan jaringan selatan sebagai "pemberontak eksentrik." Namun pendekatan spiritual-politik yang dipakai Kajoran justru menjadi ruh perlawanan rakyat. Dengan menyepi dan menolak keduniawian, ia justru memperoleh legitimasi moral tinggi di mata masyarakat. Dalam gaya yang mengingatkan kita pada para wali, Kajoran memadukan dakwah, etika, dan strategi politik yang membentuk sinergi antara sufisme dan gerakan rakyat.
Penulis pernah mencatat bahwa “dalam sejarah Jawa, gerakan rakyat tak pernah murni sekadar ekonomi atau politik; ia selalu memiliki akar spiritual dan dendam sejarah.” Apa yang terjadi di Ponorogo pada tahun 1677 merupakan cerminan nyata dari pernyataan tersebut.
Warisan Kajoran dan Denyut Ponorogo
Baca Juga : Jejak Sunan Ampel: Dari Champa ke Majapahit, Menyebar Islam Lewat Pesantren dan Perkawinan
Meski akhirnya gagal merebut Mataram, gerakan Kajoran-Ponorogo membuka babak baru dalam sejarah perlawanan Jawa. Ia bukan hanya pemberontakan, tetapi kritik total atas dekadensi kekuasaan. Dengan mengandalkan jaringan lokal, spiritualitas, dan memori luka sejarah, Raden Kajoran dan para sekutunya menunjukkan bahwa perlawanan bisa bertumbuh dari pinggiran, dari poncokan, dari lumbung desa, bukan hanya dari benteng atau istana.
Sejarah mencatat nama-nama besar seperti Trunajaya, namun lupa mencatat akar dan percikan yang menghidupkan bara: Ponorogo dan Raden Kajoran. Kini, dengan menelaah ulang peristiwa Februari–Maret 1677, kita melihat perlawanan bukan sebagai sekadar pengkhianatan, tapi sebagai usaha terakhir untuk menegakkan kebenaran dalam carut-marut kekuasaan yang kehilangan ruh.
Raden Kajoran: Mertua dan Guru Trunajaya dalam Pemberontakan Mataram
Dalam sejarah Jawa abad ke-17, kisah pemberontakan Trunajaya kerap diposisikan sebagai peristiwa besar yang mengguncang sendi kekuasaan Mataram dan membuka jalan masuknya pengaruh VOC secara lebih dalam. Namun di balik figur Trunajaya sebagai pemimpin laskar Madura dan Makassar, berdiri sosok tua karismatik dari pegunungan selatan: Raden Kajoran, dikenal pula sebagai Panembahan Rama. Ia bukan hanya mertua Trunajaya, tetapi juga pembimbing spiritual dan konseptor ideologis pemberontakan besar itu.
Raden Kajoran bukan bangsawan keraton, tetapi ia berdarah biru dari jalur Sunan Tembayat dan Ki Ageng Giring. Sebagai ulama dan kiai yang dihormati di wilayah Kajoran, Klaten, pengaruhnya melampaui sekadar urusan agama. Ia dikenal sebagai guru para bangsawan, penasihat kerohanian, dan penengah bagi rakyat kecil yang tertindas oleh feodalisme dan korupsi birokrasi keraton.
Pertemuan Kajoran dengan Trunajaya bukanlah sekadar kebetulan sejarah, melainkan hasil dari arus kekecewaan bersama terhadap rezim Amangkurat I yang represif. Trunajaya sendiri merupakan keturunan bangsawan Madura, cucu dari Sultan Cakraningrat I. Ayahnya, Raden Malayakusuma, wafat dalam pemberontakan 1656. Diasuh pamannya yang kelak menjadi Cakraningrat II, Trunajaya mengalami ketegangan di lingkungan istana Mataram, hingga akhirnya terusir dan terlunta di antara orang-orang Madura di pedalaman Jawa.
Dalam kondisi terbuang, Trunajaya menemukan pelindung dan guru dalam diri Raden Kajoran. Bukan hanya perlindungan, Kajoran juga memberi visi. Ia tak melihat Trunajaya sebagai anak muda yang frustrasi, tapi sebagai "pahlawan besar" yang akan mengguncang kekuasaan yang zalim. Pandangan ini disampaikan melalui cerita tutur yang hidup hingga kini, bahwa Kajoran menempatkan Trunajaya sebagai alat Ilahi untuk membersihkan Mataram dari kekotoran batin dan penyimpangan moral.
Ikatan mereka dipererat melalui pernikahan: Trunajaya menikahi putri Kajoran pada 15 Maret 1677, dalam perjodohan yang disahkan secara resmi oleh pejabat Japara. Tapi jauh sebelum itu, sejak 1670-an, telah terbentuk aliansi diam-diam antara Trunajaya, Raden Kajoran, dan Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Mataram. Mereka bertiga bersepakat menjatuhkan Amangkurat I. Trunajaya bertindak sebagai pemimpin pasukan, Kajoran sebagai penopang moral dan spiritual, dan Adipati Anom menjaga posisi dari dalam keraton.
Pemberontakan meletus tahun 1674 dan mencapai puncaknya pada 1676, ketika Trunajaya—dengan dukungan laskar Makassar di bawah Karaeng Galesong—merebut Surabaya. Laskar Madura dan pasukan Kajoran ikut serta. Dalam pertempuran Gegodog, pasukan Mataram yang dipimpin Adipati Anom sendiri kalah telak. Kemenangan ini memudahkan Trunajaya merebut Kudus, Demak, dan kota-kota pesisir lainnya.
Juni 1677, Plered diserbu dan jatuh. Amangkurat I lari ke barat, lalu wafat dalam pelarian. Trunajaya, yang tahu Adipati Anom kini bersekutu dengan VOC, menolak menyerahkan kekuasaan. Ia memproklamirkan diri sebagai raja bergelar Panembahan Maduretno di Kediri.
Kajoran memilih mundur ke daerah asalnya, tetapi tetap menjaga jaringan perlawanan dan api ideologis pemberontakan. Bagi rakyat di pedalaman, Kajoran adalah wali, bukan pemberontak. Ia dihormati, bukan karena kekuatan militer, melainkan karena keteguhan spiritual dan keberpihakan kepada kaum lemah.
Namun takdir sejarah menempatkannya dalam posisi terjepit. VOC yang kini menjadi sekutu Mataram mengirim pasukan. Tahun 1679, Kajoran ditangkap dan dihukum mati. Eksekusinya dilakukan bukan karena ia bersenjata, tetapi karena ia berbahaya secara ideologis. Sebab ia adalah simbol moral pemberontakan.
Trunajaya sendiri ditangkap di Gunung Kelud beberapa bulan kemudian dan dieksekusi pada Januari 1680.
Meski pemberontakan mereka gagal secara militer, namun secara moral dan historis, ia mengguncang legitimasi dinasti Mataram. Dalam narasi babad dan cerita rakyat, Trunajaya dan Kajoran tidak dikenang sebagai pemberontak biasa. Mereka adalah simbol pembangkangan terhadap ketidakadilan. Trunajaya sebagai pemimpin rakyat tertindas, Kajoran sebagai wali yang menjaga kesucian niat perjuangan.
Dalam pandangan penulis, sejarah Jawa tak pernah sekadar cerita kekuasaan. Ia adalah sejarah rasa, sejarah luka, dan sejarah keyakinan. Raden Kajoran mewakili warisan spiritual yang memilih berhadapan dengan kekuasaan yang korup, meski harus dihukum mati. Ia bukan sekadar mertua Trunajaya—ia adalah sang guru perlawanan. Dan dalam ingatan sejarah Jawa, nama Kajoran tak akan pernah lekang sebagai wali yang mengguncang tahta.