JATIMTIMES - Tahun 2025 menjadi babak baru dalam pemberantasan korupsi di lingkungan badan usaha milik negara (BUMN). Sejumlah kasus besar terungkap, mengguncang opini publik sekaligus menegaskan langkah tegas aparat hukum. Namun, di balik upaya penegakan keadilan, kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan negara kembali dipertanyakan.
Berbagai skandal mencuat, mulai dari kasus korupsi PT Timah, penyimpangan dana iklan di Bank BJB, kasus PLN hingga kredit fiktif di Bank Jatim Cabang Jakarta. Tak hanya itu, korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) serta dugaan pengurangan takaran minyak goreng "MinyakKita" semakin menambah daftar panjang borok pengelolaan BUMN.
Baca Juga : Pemkot Surabaya Terima Hibah Barang Rampasan KPK Senilai Rp 11,7 Miliar
Menurut Sigit Budi Santoso, pakar hukum pidana dari Universitas Wisnuwardhana, langkah ini menunjukkan bahwa fungsi penegakan hukum berjalan dengan baik. Namun, ia mengingatkan bahwa ekspos besar-besaran kasus korupsi juga berisiko menimbulkan ketidakpercayaan di tengah masyarakat.
"Kesannya, rakyat ini selalu jadi pihak yang dirugikan oleh orang-orang yang justru memiliki kuasa dan akses terhadap keuangan negara. Meski penindakan dilakukan, tetap saja ada rasa ketidakadilan yang muncul," ujar Sigit, Selasa, (18/3/2025).
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa langkah hukum yang tegas jauh lebih baik dibanding membiarkan masyarakat terus-menerus menjadi korban ketidakadilan sistem. Namun, yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah pemerintah benar-benar serius dalam upaya bersih-bersih ini atau hanya sebatas agenda politik sesaat.
"Kalau tidak ada tindakan tegas, korupsi akan terus berulang, terutama jika menyangkut kebutuhan pokok masyarakat. Maka, pengawasan dari berbagai pihak harus dioptimalkan agar kasus-kasus serupa tidak terjadi lagi," imbuhnya.
Di tengah maraknya pengungkapan kasus, masyarakat diharapkan tetap memberikan kesempatan kepada aparat penegak hukum untuk menjalankan tugasnya. Namun, transparansi harus menjadi prioritas utama agar publik yakin bahwa penindakan ini bukan sekadar aksi populis.
"Yang penting adalah bagaimana proses hukumnya berjalan, apakah ada perbaikan sistem yang nyata atau tidak. Jika hanya penindakan tanpa reformasi kebijakan, maka akar masalah korupsi tetap akan tumbuh subur," ucap Sigit.
Selain penguatan pengawasan internal di BUMN, dorongan untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset semakin menguat. RUU ini dinilai dapat menjadi solusi jangka panjang dalam memberantas megakorupsi di perusahaan negara seperti Pertamina, PLN, dan Antam.
Baca Juga : Bupati Sanusi Dorong Perusahaan di Kabupaten Malang Salurkan CSR untuk Kepentingan Masyarakat
Jika disahkan, RUU Perampasan Aset akan memungkinkan negara untuk menyita kekayaan yang diperoleh dari hasil korupsi tanpa harus menunggu putusan hukum inkrah, sebuah mekanisme yang telah diterapkan di berbagai negara dalam pemberantasan tindak pidana ekonomi.
Terungkapnya berbagai skandal korupsi di tubuh BUMN harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan reformasi menyeluruh, bukan sekadar menindak individu yang terlibat. Jika tidak, kasus serupa akan terus berulang, meninggalkan luka yang semakin dalam bagi kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi negara.
Kini, bola ada di tangan aparat penegak hukum dan pemerintah. Apakah langkah ini benar-benar awal dari era baru pemberantasan korupsi di Indonesia atau sekadar euforia sesaat yang akhirnya meredup tanpa perubahan nyata.