Ketua RW dan Lurah di Merjosari Bakal Tampil Jadi Aktor Ludruk, Bawakan Kisah Asal-Usul Merjosari
Reporter
Anggara Sudiongko
Editor
A Yahya
05 - Jul - 2025, 06:34
JATIMTIMES – Tak sekadar meriah, Festival Merjosarian 2025 di Kelurahan Merjosari, Kota Malang, menghadirkan kejutan budaya yang sarat makna. Dalam puncak acara yang akan digelar 19 Juli 2025, para ketua RW hingga Lurah Merjosari, Muhammad Saiful Arif, S.Si., akan bertransformasi menjadi seniman panggung dalam ludruk kolosal bertema sejarah terbentuknya Merjosari.
Pagelaran ludruk ini tidak hanya menjadi hiburan semata, tetapi juga sarana edukasi dan pelestarian sejarah kampung. Cerita yang dibawakan mengangkat ludruk kolosal bertema “Bapak Tanah Leluhur Merjosari”. Cerita ini merupakan kisah awal mula Merjosari, tokoh leluhur seperti Mbah Joyo, serta pesan-pesan positif yang menyentuh: tentang pentingnya gotong royong, persatuan, dan merawat jati diri kampung. “Di dalamnya akan disisipkan pesan moral untuk masyarakat, soal toleransi, kolaborasi, dan semangat membangun kampung bersama,” ujar Saiful, Sabtu, (7/5/2015).

Merjosari bukan sekadar nama kelurahan modern. Ia menyimpan jejak sejarah panjang yang membentang sejak era kerajaan kuno di Jawa Timur. Awalnya, Merjosari adalah sebuah desa yang masuk dalam wilayah Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Namun sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1987, statusnya berubah menjadi kelurahan dan resmi menjadi bagian dari wilayah administrasi Kota Malang.
Baca Juga : Bintang Film Fantastic Four, Julian McMahon Meninggal Dunia
Secara toponimi, nama Merjosari belum ditemukan secara eksplisit dalam prasasti kuno, tetapi menurut peta era kolonial Belanda sekitar tahun 1916, wilayah ini dikenal sebagai Dukuh Merjosari, yang terletak setelah Dukuh Merjoyo. Kata Merjoyo sendiri diyakini bermakna "kemenangan", merujuk pada istilah Jawa Kuno "Jayamerta" atau "Amertajaya Sri", sebagaimana tertulis dalam Prasasti Sukun (1160 M) pada masa Kerajaan Kediri.
Pada masa Kerajaan Kanjuruhan, wilayah Dinoyo, Merjosari dan Tlogomas merupakan satu kesatuan administratif, bahkan dipercaya sebagai pusat pemerintahan dengan tokoh-tokoh seperti Dewa Simba, Gajayana, dan Ratu Uttejana. Selama era Kerajaan Mataram Kuno, ketiga wilayah tersebut menjadi bagian dari "Watak Kanuruhan", dipimpin oleh pejabat bergelar Rakyan Kanuruhan seperti Pu Huntu, Dyah Mamumpung, dan Pu Uda...