Pangeran Pekik: Rekonsiliator Surabaya–Mataram yang Ditumbalkan Sejarah
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Yunan Helmy
16 - Apr - 2025, 01:39
JATIMTIMES - Di tengah arus sejarah awal Mataram Islam yang dipenuhi intrik politik dan konflik kepentingan, sosok Pangeran Pekik tampil sebagai tokoh yang mempersatukan dua poros kekuasaan Jawa pasca-pendudukan Pajang dan Demak. Putra Panembahan Jayalengkara, raja Surabaya terakhir yang mengobarkan perlawanan terhadap ekspansi kekuasaan Sultan Agung, Pangeran Pekik—nama kecilnya tidak tercatat dalam naskah-naskah babad klasik—menjadi sosok sentral dalam rekonsiliasi berdarah antara Jawa Tengah dan pesisir Timur. Namun, akhir hidupnya justru menjadi ironi getir dari kegagalan Mataram menjaga warisan harmonis yang ia tanamkan.
Pangeran Pekik: Ulama Raja dari Pesisir yang Ditumbalkan Istana
Baca Juga : Long Weekend Jumat Agung dan Paskah, KAI Daop 8 Surabaya Operasikan 4 KA Tambahan
Dalam lintasan sejarah Islam Jawa abad ke-17, Pangeran Pekik tampil sebagai figur kunci yang menjembatani dunia pesantren pesisir dengan istana agraris Mataram. Ia bukan sekadar adipati Surabaya atau pangeran menantu Sultan Agung. Pangeran Pekik adalah cerminan dari sinkretisme kekuasaan dan spiritualitas yang dalam, ulama sekaligus politisi yang ditakdirkan mengakhiri hidupnya dalam bayang-bayang kekuasaan yang curiga.
Pangeran Pekik lahir di Surabaya pada paruh akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, sebagai putra dari Panembahan Jayalengkara, raja ulama terakhir Surabaya yang ditaklukkan oleh Sultan Agung pada tahun 1625. Panembahan Jayalengkara sendiri adalah keturunan dari Sunan Ampel (Sayyid Raden Ahmad Rahmatullah), salah seorang dari Walisongo, ulama penyebar Islam terpenting di Jawa.
Melalui silsilah Sunan Ampel, trah Jayalengkara tersambung kepada keluarga Ahlul Bait, yakni jalur keturunan dari Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, Pangeran Pekik bukan hanya bangsawan pesisir, tetapi juga bergaris darah suci dalam perspektif Islam Jawa.
Nama kecil Pangeran Pekik adalah Raden Bagus Pekik, atau dalam sebutan lainnya Raden Muhammad Nur Pekik dan Imam Faqih. Di kemudian hari, gelar religiusnya sebagai ulama Mataram adalah Panembahan Pekik atau Raja Pandhita Wali. Dari rakyatnya, ia mendapat sebutan penuh kasih: Gagak Emprit, yakni bangsawan tinggi yang menyatu dengan rakyat kebanyakan.
Panembahan Jayalengkara tercatat memiliki empat orang putra yang memainkan peran penting dalam dinamika kekuasaan regional pada masanya, yakni Pangeran Pekik, Pangeran Trunojoyo, Pangeran Indrajit, dan Pangeran Wirodarmo...