Pendidikan, Intrik, dan Perkawinan: Historiografi Masa Muda Amangkurat II
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Yunan Helmy
15 - Apr - 2025, 01:41
JATIMTIMES - Masa muda Amangkurat II, yang pada waktu kelahirannya dikenal sebagai Raden Mas Rahmat, adalah fase sejarah yang kaya dengan intrik dinasti, pencarian identitas politik, dan upaya penguatan posisi kekuasaan di tengah ketidakpastian pasca-kejayaan Sultan Agung.
Narasi ini bukan sekadar kisah seorang putra mahkota yang tumbuh menjadi raja, tetapi lebih dari itu: sebuah potret kompleksitas kekuasaan Jawa abad ke-17 dalam perspektif historiografi yang tajam. Ditopang oleh sumber primer seperti Daghregister, Sadjarah Dalem, dan catatan pejabat VOC seperti Rijckloff van Goens dan Jacob Couper, serta catatan lokal seperti Babad Sangkala dan Serat Kandha, narasi ini menempatkan pengalaman personal Raden Mas Rahmat sebagai refleksi dari dinamika kekuasaan Mataram dan interaksinya dengan dunia Islam dan kolonialisme Eropa.
Baca Juga : Tim Gabungan TNI Polri dan Satuan Karantina Banyuwangi Amankan Puluhan Babi Tanpa Dokumen
Lahir dari Darah Dua Dinasti: Pangeran Rahmat dan Jejak Surabaya
Raden Mas Rahmat lahir dari pernikahan antara Sunan Amangkurat I dan seorang perempuan berdarah bangsawan Surabaya, putri dari Pangeran Pekik. Ibundanya, Kanjeng Ratu Pangayun—kemudian dikenal sebagai Ratu Kulon, dan setelah wafat disebut Ratu Ageng—adalah simbol penyatuan dua kekuatan: dinasti Mataram dan sisa elite Surabaya yang sebelumnya menjadi musuh bebuyutan Sultan Agung. Namun, nasib mempercepat keterpisahan: Ratu Ageng wafat 40 hari setelah melahirkan, dan karena makam kerajaan di Imogiri belum rampung, ia dimakamkan di Girilaya. Peristiwa ini tak hanya menyisakan duka, tetapi juga mempertegas hilangnya satu kekuatan perempuan dalam orbit kekuasaan Mataram.
Penyematan nama "Rahmat" kepada sang putra agaknya bukan tanpa maksud. Nama itu hampir pasti merujuk kepada figur spiritual agung: Sunan Ampel, atau Raden Rahmat, seorang wali yang dihormati dan menjadi pusat otoritas moral dalam tradisi Islam Jawa. Dalam lingkungan keluarga bangsawan Surabaya, nama tersebut mengandung resonansi sejarah dan religius yang dalam. Ia bukan sekadar nama, melainkan lambang harapan—bahwa sang anak kelak akan mewarisi berkah, kewibawaan moral, dan legitimasi spiritual dalam menjalankan kekuasaan. Terlebih, dinasti Kerajaan Surabaya mengklaim diri sebagai keturunan langsung Sunan Ampel, sehingga pemilihan nama itu memperkuat ikatan genealogi suci yang diandalkan sebagai landasan kekuasaan...