Korupsi di Legislatif Bisa Mandiri, Ada Persoalan Sistemik dalam Pengganggaran untuk Balik Modal
Reporter
M. Bahrul Marzuki
Editor
Nurlayla Ratri
10 - Jul - 2025, 07:49
JATIMTIMES - Korupsi di lingkungan DPRD berbagai wilayah di Jawa Timur kembali mencuat dan menunjukkan pola yang berulang. Dari Surabaya, Kota Malang, hingga DPRD tingkat provinsi, penyalahgunaan dana publik seperti hibah, Jasmas, dan aspirasi masyarakat terus terjadi.
Pengamat politik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jatim, Singgih Manggalou, menyebut fenomena ini menunjukkan adanya persoalan sistemik dalam mekanisme penganggaran di legislatif. Namun, dia menegaskan bahwa keterlibatan eksekutif tidak bisa digeneralisasi dalam semua kasus.
Baca Juga : KONI Sidoarjo Studi Banding ke KONI Kota Kediri
“Dalam beberapa kasus besar memang hanya anggota DPRD yang dijerat, sementara pihak eksekutif tidak terbukti terlibat secara langsung. Itu berarti korupsi bisa terjadi secara mandiri di tubuh legislatif, tanpa harus melibatkan kepala daerah atau OPD,” kata Singgih, Kamis (10/7/2025).
Menurutnya, besarnya kuasa anggaran yang dimiliki legislatif seperti dalam program hibah atau pokok-pokok pikiran (pokir) menciptakan celah korupsi tersendiri. Terlebih jika pengawasan dari publik maupun internal DPRD tidak berjalan maksimal.
“Selama dana publik bisa diarahkan tanpa transparansi dan tidak ada kontrol yang ketat, maka peluang penyimpangan itu tetap besar. Dan celah ini paling banyak dimanfaatkan oleh oknum-oknum dewan,” ujarnya.
Singgih menyebut bahwa akar dari masalah ini salah satunya adalah mahalnya biaya politik dalam pemilu legislatif. Legislator merasa perlu ‘mengembalikan modal politik’ setelah terpilih, dan celah pengelolaan pokir menjadi sasaran empuk.
Menurutnya, pola seperti ‘titip proyek’ dengan modus mark up anggaran hingga penggunaan yayasan fiktif menjadi taktik yang sering dipakai untuk menyamarkan gratifikasi.
“Praktik ini tumbuh dari ongkos pileg yang tidak masuk akal. Karena itu saya kira penting untuk mengkaji ulang sistem pileg kita agar menggunakan sistem proporsional tertutup,” tegasnya.
Menurutnya, sistem proporsional terbuka saat ini memicu kompetisi antar caleg dalam satu partai yang justru mendorong praktik transaksional. Hal ini berdampak pada mentalitas anggota legislatif yang lebih fokus pada pengembalian biaya politik dibanding fungsi pengawasan.
“Kalau sistemnya tetap seperti sekarang, kita hanya akan mencetak wakil rakyat yang berpikir soal pengembalian modal, bukan kepentingan publik,” tambah Singgih...