Jawa Tak Pernah Tunduk: Resistensi Senyap di Surakarta Pasca-Perang Diponegoro
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
A Yahya
10 - Apr - 2025, 01:22
JATIMTIMES - Setelah berakhirnya Perang Jawa (1825–1830), bukan berarti perlawanan terhadap kolonialisme di Jawa berhenti. Justru, di balik tembok-tembok Keraton Surakarta dan Yogyakarta, serta di desa-desa yang jauh dari pusat kekuasaan, semangat anti-kolonial tetap membara. Gerakan-gerakan perlawanan ini, meskipun tidak sebesar Perang Diponegoro, tetap menjadi ancaman nyata bagi dominasi kolonial Belanda.
Di sepanjang abad ke-19, istana Jawa mengalami transformasi besar, dari pusat kekuasaan yang berdaulat menjadi subordinat di bawah kendali kolonial. Sementara di satu sisi keraton masih mempertahankan tradisi dan simbol kekuasaan raja, di sisi lain mereka dipaksa tunduk pada kebijakan Belanda. Dalam kondisi yang semakin terkekang, perlawanan pun muncul dalam berbagai bentuk, baik di dalam keraton itu sendiri maupun di wilayah-wilayah pedesaan yang masih setia pada nilai-nilai lama.
Baca Juga : Simak, Ini Masterplan Jatim Gerbang Baru Nusantara dan Tantangan yang Dihadapi
Artikel ini akan mengupas bagaimana perlawanan di kepangeranan Surakarta berlangsung pada era pasca-Perang Diponegoro. Dengan mengandalkan sumber sejarah yang tajam dan kritis, kita akan menelusuri akar dari perlawanan ini—bagaimana para elite pribumi menyikapi dominasi kolonial, bagaimana ketidakadilan Belanda memicu reaksi keras, dan bagaimana ekspresi perlawanan itu termanifestasi dalam berbagai bentuk, mulai dari tulisan protes hingga pemberontakan terbuka.
Dominasi Kolonial dan Ketidakadilan Sosial
Sejak awal abad ke-19, Belanda semakin memperketat kendali atas Jawa, termasuk di wilayah Surakarta. Salah satu dokumen penting yang mencerminkan kondisi sosial-politik di Jawa pada pertengahan abad ke-19 adalah laporan dalam bahasa Arab yang dikirimkan kepada Raja Belanda, Willem III, pada tahun 1865. Laporan ini mengungkapkan keluhan masyarakat pribumi terhadap kebijakan kolonial yang semakin menekan.
Para residen dan pejabat Belanda dituduh bertindak sewenang-wenang, menindas rakyat dengan pajak yang berat, dan memaksakan kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai lokal. Dalam laporan itu disebutkan bahwa pemimpin Belanda, khususnya mereka yang bergaji di bawah 1.500 rupiah, sering kali melakukan pemerasan dan korupsi terhadap rakyat...