Slamet Purbanegara: Bupati Pertama Kediri dan Politik Dinasti Mangkunegaran
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Yunan Helmy
10 - Apr - 2025, 07:04
JATIMTIMES - Di antara banyak figur penting yang mengisi lembaran sejarah Jawa pasca-Perjanjian Giyanti 1755, nama Kanjeng Pangeran Tumenggung Arya Purbanegara atau Slamet Purbanegara belum mendapat porsi perhatian yang layak dalam historiografi arus utama. Padahal, ia adalah sosok aristokrat trah Mangkunegaran yang memainkan peran krusial dalam pembentukan struktur pemerintahan di wilayah timur laut Kasunanan, tepatnya di Kadipaten Kediri.
Periode pemerintahannya (1800–1825) menjadi saksi penguatan struktur kolonial Belanda, dinamika sosial multikultural, serta awal konsolidasi Kediri sebagai kota niaga dan administrasi yang kelak menjadi penting dalam lanskap politik Jawa Timur.
Asal-usul dan Pendidikan: Darah Mangkunegaran, Semangat Manca
Baca Juga : Mbak Vinanda Larang Penyelenggaraan Wisuda dari PAUD hingga SMP
Pangeran Purbanegara lahir dengan nama kecil Bandara Raden Mas (BRM) Slamet, putra kedelapan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I—sosok sentral pendiri Kadipaten Mangkunegaran. Ia lahir dalam tradisi militer, agama, dan spiritualitas Jawa. Sejak kecil, BRM Slamet dikenal santun, disiplin, serta memiliki keberanian tinggi.
Dalam tradisi Mangkunegaran yang menggabungkan ajaran kejawen, Islam, dan nilai-nilai militeristik ala Eropa Timur, ia digembleng dalam tiga bidang utama: tata pemerintahan (pamomong), ilmu agama (ngaji, tafsir, dan tasawuf), serta ilmu bela diri dan strategi perang (kanuragan dan catur negara).
Transformasi dirinya ke dalam nama resmi “Purbanegara”—secara etimologis berarti “perbaikan negeri”—adalah simbol dari komitmen leluhur dan legitimasi dinasti untuk memperluas pengaruh Mangkunegaran ke kawasan Mancanegara Wetan, sebuah wilayah strategis di bawah kendali Kasunanan Surakarta.
Pangeran Sambernyawa, Leluhur Dinasti Purbanegara
Dalam narasi besar sejarah Jawa abad ke-18, nama Raden Mas Said muncul sebagai salah satu tokoh sentral perlawanan terhadap dominasi kolonial dan keruntuhan moral Keraton Mataram. Ia bukan sekadar pangeran pemberontak, melainkan simbol resistensi aristokratik yang menolak tunduk pada kooptasi kekuasaan oleh Belanda melalui alat-alat istana. Dalam catatan kolonial dan naskah-naskah lokal, Said kemudian dikenal luas dengan gelar Pangeran Sambernyawa—“penyambar nyawa”—sebuah julukan yang mencerminkan reputasinya sebagai pemimpin militer yang ditakuti dan tidak mengenal kompromi...