Fakultas Ekonomi UIN Malang Jawab Tantangan Global: GRC Harus Adaptif terhadap AI dan Risiko Siber
Reporter
Hoshi Amalia
Editor
Nurlayla Ratri
20 - Nov - 2025, 04:26
JATIMTIMES - Komitmen Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) Malang dalam merajut lulusan yang cakap di kancah global sekaligus peka terhadap realitas profesional diuji melalui Expert Guest Lecture yang digelar Fakultas Ekonomi. Forum ini menghadirkan praktisi senior perbankan, untuk mendalami isu Governance, Risk, dan Compliance (GRC).
Diskusi strategis yang digelar di Gedung Ir. Soekarno pada Kamis (20/11/2025) ini menyoroti bagaimana tata kelola modern harus adaptif terhadap gejolak global VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) dan isu fundamental: kesejahteraan.
Baca Juga : Ada Masalah dengan MBG? Lapor ke 127, Begini Caranya
Dekan Fakultas Ekonomi, Dr. H. Misbahul Munir, Lc. M.EI., menegaskan bahwa pertemuan ini bukan sekadar seremoni, melainkan ruang vital untuk menjembatani teori dan praktik. "Kami sering mengundang narasumber dari akademisi dan praktisi. Ini penting agar para dosen dan mahasiswa bisa mendapatkan insight dari dunia riil secara profesional," ujarnya. Ia menekankan bahwa wawasan GRC, terutama yang harus adaptif terhadap era kecerdasan buatan (AI) dan segala risikonya, adalah kunci agar mahasiswa UIN Maliki lebih siap menghadapi dunia kerja.
Merespon konteks tersebut, Wakil Rektor I UIN Maliki Malang, Drs. H. Basri, MA, Ph.D., memberikan perspektif yang lebih mendalam, menyoroti posisi kampus yang kini berada di peringkat atas dalam lingkup Islamic higher education di dunia. Ia menegaskan bahwa tata kelola global yang diterapkan UIN Maliki harus berlandaskan nilai-nilai inklusif dan rahmatan lil alamin (bermanfaat bagi alam semesta). "Hal ini menggarisbawahi bahwa tata kelola global yang diterapkan UIN Maliki harus berlandaskan nilai-nilai inklusif dan bilal alamin, memastikan bahwa profesionalisme tidak terlepas dari kepekaan sosial," tambahnya.
Dalam paparannya, Iwan Dharmawan, yang memiliki rekam jejak hampir tiga dekade di perbankan multinasional, memicu perbincangan dengan perspektifnya mengenai fenomena Fintech. Menurutnya, kegagalan banyak perusahaan digital tidak disebabkan oleh kekurangan teknologi atau strategi marketing, melainkan karena masalah kesejahteraan internal yang belum tercapai. Pernyataan tajam ini menjadi titik tolak bahwa GRC harus mendorong keberlanjutan dan value, bukan hanya kepatuhan semata. Ia menggarisbawahi bahwa GRC di industri perbankan sejatinya lahir dari keterpaksaan pasca-krisis 1998, yang memaksa lembaga keuangan mengelola risiko sistemik secara ketat, termasuk pengetatan prosedur Know Your Customer (KYC) yang krusial untuk mencegah kejahatan finansial dan pendanaan terorisme.
Lebih lanjut, Iwan memaparkan bahwa GRC kini menghadapi tantangan besar dari risiko non-finansial yang kompleks, yang dipicu oleh ketidakpastian global atau VUCA. Tiga risiko non-finansial utama yang kini menjadi fokus GRC, menurut Iwan, adalah Serangan Siber (Cyber Attack) yang menuntut adanya kolaborasi antarlembaga untuk melawan jaringan kriminal siber; Risiko Pihak Ketiga (Third-Party Risk) yang muncul dari kerjasama dengan vendor dan berpotensi menyebabkan pembobolan data atau rekening; serta Regulasi yang Semakin Kompleks, termasuk implementasi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dan tuntutan besar terhadap kriteria ESG (Environmental, Social, and Governance).
Baca Juga : Humanis di Era AI: Unisma Ajak Pendidik Tak Kehilangan Kendali dalam Pembelajaran Bahasa Inggris
Secara kolektif, diskusi yang melibatkan seluruh perwakilan fakultas di UIN Maliki Malang menyimpulkan bahwa fondasi GRC, mencakup Governance, Risk Management, dan Compliance telah bertransformasi. GRC kini harus menjadi cara berpikir yang terintegrasi di seluruh lini institusi, bukan sekadar seperangkat aturan yang statis.
Bagi UIN Maliki, integrasi ini penting, memungkinkan lembaga akademik ini untuk terus beroperasi, mencetak lulusan yang berintegritas, dan bersuara di kancah global tanpa kehilangan kepekaan sosialnya di tengah laju digitalisasi dan kompleksitas geopolitik. Ini adalah upaya kampus dalam menyiapkan "jati diri baru": institusi yang berani membaca ulang arah langkah global dengan pijakan nilai dan profesionalisme yang kuat.
