Menulis Jawa, Melawan Kolonial: Kiprah Carl Friedrich Winter dalam Lembar Koran Bromartani
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Sri Kurnia Mahiruni
02 - Jul - 2025, 09:01
JATIMTIMES - Dalam sejarah pers Indonesia, nama Carl Friedrich Winter bukanlah sosok yang populer di arus utama, namun posisinya sangat strategis. Ia bukan sekadar penerbit, tetapi juga intelektual kolonial yang memilih bahasa Jawa sebagai alat perlawanan kultural terhadap dominasi Belanda.
Kiprah Winter melalui koran Bromartani, yang terbit pertama kali pada 25 Januari 1855, merupakan tonggak penting dalam perkembangan pers lokal dan nasionalisme berbasis budaya di tanah Jawa.
Baca Juga : WOODZ Dijadwalkan Selesai Wamil 21 Juli, MOODZ Bersiap Sambut Kembalinya Sang Idola
Surakarta sebagai Ruang Politik Kultural
Pada pertengahan abad ke-19, Surakarta menempati posisi unik sebagai pusat kebudayaan Jawa sekaligus tempat eksperimen kolonial dalam bidang administrasi, pendidikan, dan media. Ditetapkannya Undang-Undang Pers tahun 1854 oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi titik awal pelonggaran sensor, yang memberi ruang lahirnya media lokal. Dalam konteks inilah Carl Friedrich Winter dan putranya, Gustaaf Winter, menerbitkan Bromartani dengan bahasa krama inggil—tingkatan tertinggi dalam strata linguistik Jawa.
Pilihan bahasa tersebut bukan keputusan netral. Di tengah maraknya koran berbahasa Belanda seperti De Locomotief atau De Nieuwe Vorstenlanden, Bromartani tampil sebagai suara tandingan yang memperkuat wacana lokal dan memperluas ruang artikulasi budaya Jawa. Dalam pengantar edisi perdana, disebutkan bahwa Bromartani bertujuan menyampaikan berita, pengetahuan alam, cerita, serta pengumuman resmi kepada para bangsawan dan masyarakat Jawa yang memiliki kemampuan baca-tulis.
Ideologi di Balik Bahasa
Carl Friedrich Winter memahami bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga medan ideologis. Dengan memilih bahasa Jawa, ia turut menanamkan identitas dan kebanggaan lokal di tengah tekanan kolonial. Pers Jawa menjadi semacam bentuk diplomasi kultural, yang memungkinkan elite lokal dan pujangga keraton menyalurkan gagasan mereka tanpa harus tunduk pada format narasi kolonial.
Tak heran jika Bromartani mendapatkan apresiasi dari Keraton Surakarta, terutama pada masa Pakubuwono VII dan kemudian Pakubuwono X. Dalam catatan Margana (2004), pihak keraton bahkan menempatkan Carl Friedrich Winter dan Gustaaf Winter sejajar dengan pujangga kraton seperti Ranggawarsita. Keduanya dianggap sebagai "Javanisi"—orang non-Jawa yang fasih dan loyal terhadap kebudayaan Jawa...