Sultan Hadiwijaya Wafat, Pajang pun Runtuh: Siasat Senapati dan Awal Baru Mataram
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Yunan Helmy
28 - Jun - 2025, 09:50
JATIMTIMES - Pada pertengahan abad ke-16, pusat kekuasaan Islam di Jawa tengah mengalami guncangan besar. Pajang, kerajaan yang menjadi penerus kekuasaan Demak, berdiri di bawah kepemimpinan Sultan Hadiwijaya, juga dikenal sebagai Jaka Tingkir.
Namun, kekuasaan ini tidak bertahan lama. Setelah peristiwa kekalahannya dalam perang Prambanan, Sultan Hadiwijaya memutuskan untuk pergi ke tempat yang dianggap suci— makam Sunan Tembayat. Di sinilah, menurut catatan Babad Tanah Djawi dan Serat Kandha, takdir kerajaan Pajang tampak jelas: sultan tidak mampu membuka pintu makam keramat, sebuah simbol runtuhnya legitimasi spiritual dan politiknya.
Baca Juga : Kabar Duka Porprov Jatim 2025, Atlet Bela Diri Bangkalan Meninggal
Dalam fragmen ini, Babad Tanah Djawi menyiratkan simbolisme mendalam: seorang raja yang telah kehilangan restu ilahi, tak mampu menembus batas keramat yang biasa hanya dilintasi oleh mereka yang “diizinkan.” Dalam tafsir tradisional Jawa, ini merupakan isyarat metafisik bahwa kekuasaan telah berpindah tangan, dan bahwa takdir raja telah berakhir. Serat Kandha, dalam bentuk naratif yang lebih ringkas, menyampaikan bahwa jatuhnya sang raja dari gajah menjadi penanda fisikal atas keruntuhan batin dan politiknya.
Kekalahan Prambanan dan Pelarian ke Tembayat
Kekalahan Sultan Hadiwijaya dalam perang Prambanan membuka lembaran baru dalam sejarah Jawa. Setelah kekalahan itu, Sultan menuju ke Bayat untuk berdoa di kompleks makam Sunan Tembayat yang disakralkan. Namun, seperti yang digambarkan dalam Babad Tanah Djawi, pintu makam itu tertutup rapat dan tak bisa dibuka olehnya. Sebagai seorang raja, kegagalan membuka pintu makam bukan hanya kejadian fisik, tetapi lambang runtuhnya wahyu kekuasaan atau daulat. Sang juru kunci makam bahkan berkata bahwa Allah sudah tak merestui kekuasaannya lagi.
Malamnya, Sultan tidur di bale kencur yang dikelilingi air—simbol pembersihan batin atau pembersihan terakhir seorang raja. Namun semua ini tak mampu membalikkan nasib. Esoknya, ia jatuh dari gajah dan jatuh sakit. Dalam keadaan lemah, ia kembali ke Pajang, digotong di atas tandu, lambang pengangkatan jenazah kekuasaan yang sekarat.
Senapati dari Mataram, cucu Ki Ageng Henis, diam-diam mengikuti perjalanan Sultan dari kejauhan. Bersama empat puluh pengikut berkuda, Senapati mengekor secara simbolik, memberi kesan sebagai putra rohani, bukan pemberontak terang-terangan...