JATIMTIMES - Ketika dunia terasa seperti bara yang menunggu tiupan terakhir, percakapan tentang kiamat kembali naik ke permukaan. Terutama sekarang, ketika konflik Iran, Israel memanas dan rumor Perang Dunia Ketiga berseliweran seperti angin panas gurun. Di tengah kecemasan global itu, sebagian warganet Muslim mulai mengaitkan teknologi rudal modern, termasuk senjata nuklir, dengan salah satu tanda besar kiamat: dukhan, asap yang disebutkan dalam sejumlah hadits.
Spekulasi itu berkembang cepat. Ada yang melihatnya sebagai awan jamur ledakan nuklir, ada yang menghubungkannya dengan bencana ekologis, ada pula yang menganggapnya sekadar metafora tentang penderitaan manusia. Namun sebelum imajinasi kita berlari terlalu jauh, penting untuk kembali membuka bagaimana teks hadits dan para ulama memaknai istilah itu sejak awal.
Baca Juga : 5 Tempat Terbaik untuk Menyaksikan Kembang Api Tahun Baru 2026 di Surabaya
Dalam banyak riwayat sahih, dukhan disebut berdampingan dengan tanda-tanda besar lain seperti Dajjal, Ya’juj-Ma’juj, hingga terbitnya matahari dari barat. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Bersegeralah kalian beramal sebelum datang enam hal: terbitnya matahari dari barat, Dajjal, asap (dukhan), dabbatul-ardh, kematian salah satu dari kalian, dan urusan besar (kiamat).” Riwayat lain dari Hudzaifah bin Asid menyebutkan sepuluh tanda besar, dan dukhan kembali muncul di dalamnya. Ini menunjukkan bahwa dukhan diposisikan sebagai peristiwa dahsyat menjelang hari akhir.
Namun tidak semua ulama memahami dukhan sebagai asap literal dari langit. Sejak generasi tabi’in, ada tafsir yang merekam pengalaman sejarah Arab. Masruq, misalnya, menggambarkan bagaimana Abdullah bin Mas‘ud menafsirkan dukhan sebagai kelaparan hebat yang menimpa Quraisy setelah Nabi memanjatkan doa agar mereka merasakan masa sulit seperti masa Nabi Yusuf.
Kelaparan itu begitu parah hingga membuat pandangan mereka mengabur dan langit terlihat seperti berasap. Riwayat ini muncul dalam Shahih Bukhari dan didukung tokoh-tokoh seperti Ibnu Abbas serta Mujahid. Dari sinilah lahir dua kategori: dukhan sebagai pengalaman sejarah akibat kelaparan, dan dukhan sebagai tanda akhir zaman yang benar-benar berbeda.
Penjelasan ulama tentang dukhan akhir zaman juga beragam. Imam An-Nawawi menggambarkannya sebagai peristiwa yang membuat orang kafir tersiksa dan sulit bernapas, sementara orang beriman hanya merasakan semacam flu ringan. Ad-Dihlawi menyebut fenomena ini akan memenuhi langit dari timur hingga barat selama empat puluh hari. Gambaran-gambaran semacam ini memberikan kesan bahwa dukhan adalah fenomena kosmik yang lebih besar dari sekadar kabut asap biasa.
Lalu pertanyaannya muncul: apakah dukhan mungkin saja bentuk modern dari ledakan nuklir?. Dalam era ketika teknologi mampu menghasilkan kehancuran dalam skala yang belum pernah terbayangkan di masa klasik, wajar bila sebagian orang menyamakan awan jamur, debu radioaktif, dan gangguan pernapasan sebagai bagian dari skenario akhir zaman. Namun itu tetap hanya spekulasi kontemporer. Tidak ada ulama klasik yang menghubungkan tanda kiamat dengan senjata buatan manusia. Narasi eskatologis dalam literatur tradisional berada pada ranah spiritual, bukan ramalan teknologi militer.
Baca Juga : Saat Nabi Mengganti Nama: Pesan Moral di Balik Sebuah Identitas
Spekulasi-spekulasi modern sering muncul karena manusia zaman ini membaca teks melalui kacamata sains, kecemasan geopolitik, dan persepsi visual media. Narasi apokaliptik sendiri, secara historis, banyak diproduksi ketika umat Muslim berada dalam periode konflik politik.
Selepas wafatnya Nabi, Fitnah Kubra menghadirkan ketegangan besar, antara Ali, Mu‘awiyah, dan kelompok Khawarij. Jean-Pierre Filiu menunjukkan bagaimana narasi kiamat sering dipakai untuk memobilisasi dukungan politik. Uri Rubin juga menegaskan bahwa istilah dukhan dalam tradisi Arab fleksibel: bisa berarti debu pasukan, kabut kelaparan, atau fenomena futuristik yang benar-benar berada di luar imajinasi.
Dengan begitu, memahami dukhan selalu membutuhkan kehati-hatian. Teks-teks agama tidak tunggal, dan maknanya bergerak mengikuti ruang dan zaman. Pembacaan klasik dan modern sering berjarak, tetapi bukan berarti keduanya salah. Yang jelas, pesan Nabi selalu menegaskan satu hal: fokusnya bukan pada menebak bentuk dukhan atau memprediksi tanggal kiamat, tetapi pada kesiapan moral dan amal manusia sebelum hari itu tiba.