JATIMTIMES - Ibadah haji merupakan kewajiban bagi umat Islam. Namun dalam pelaksanaannya, Haji dilakukan bagi mereka yang mampu secara fisik dan finansial. Jadi, Haji bukan sesuatu yang dipaksakan untuk dilaksanakan.
Faktanya, tidak semua orang mampu untuk melakukan haji. Bagi mereka yang tidak bisa melakukan haji karena lanjut usia, sakit, atau tidak mampu secara fisik maka bisa melakukan badal haji.
Baca Juga : Satreskrim Polres Situbondo Amankan Tujuh Pelaku Pengeroyokan Warga Jangkar
Istilah badal haji memang cukup populer dalam ibadah haji. Biasanya, badal haji dilakukan oleh orang lain untuk orang lain.
Pengertian Badal Haji
Menurut Kementerian Agama (Kemenag) RI, badal haji adalah kegiatan menghajikan orang yang telah meninggal (yang belum haji) atau menghajikan orang yang sudah tak mampu melaksanakannya (secara fisik) disebabkan oleh suatu udzur, seperti sakit yang tak ada harapan sembuh.
Badal Haji ini dilakukan seseorang atas nama orang lain yang sudah meninggal (sejak di embarkasi dan sebelum pelaksanaan wukuf) juga bagi jemaah haji yang udzur jasmani dan rohani (tidak dapat diharapkan kesembuhannya menurut medis, sakit tergantung dengan alat, dan gangguan jiwa), sehingga tidak dapat melaksanakan wukuf di Arafah.
Jenis-Jenis Badal Haji
Badal haji diperbolehkan pada 2 (dua) kelompok, yaitu Al-Ma'dlub dan Al-Mayyit. Masih dari sumber yang sama, berikut penjelasannya:
1. Al-Ma'dlub, yaitu orang yang kondisi fisiknya tidak memungkinkan untuk berangkat ke Tanah Suci, sehingga memerlukan jasa orang lain untuk melaksanakan ibadah haji. Al-Ma'dlub yang memiliki kemampuan finansial wajib/boleh dibadalkan jika tempat tinggalnya jauh dari Tanah Haram Makkah dengan jarak lebih dari masafatul qashr.
Sedangkan, Al-Ma'dlub yang sudah ada di Tanah Haram Makkah atau tempat lain yang dekat dari Tanah Haram Makkah tidak boleh dibadalhajikan, melainkan harus haji sendiri atau dibadalhajikan setelah meninggal. Tetapi, jika kondisinya benar-benar tidak memungkinkan untuk melaksanakan sendiri, maka menurut sebagian pendapat, dia boleh dibadalhajikan di saat dia masih hidup (Hasyiatul Jamal, Juz II, hlm. 388).
2. Al-Mayyit adalah haji yang tidak terlaksana atau tidak selesai karena yang bersangkutan meninggal lebih dulu. Hal ini terbagi dalam 2 (dua) macam, yaitu Haji Wajib (haji Islam, haji nazar, dan haji wasiat) dan Haji Sunnah.
Dari rincian pembahasan haji bin niyabah menurut Syafi'iyah dapat disimpulkan bahwa haji wajib yang tidak terlaksana/tidak selesai karena yang bersangkutan meninggal dunai terlebih dulu, hal ini ada yang wajib dibadalkan dan ada yang tidak wajib dibadalkan.
Adapun haji wajib yang wajib dibadalkan biayanya menjadi beban tirkah si mayyit. Perlu dijelaskan pula, bahwa jika si mayyit tidak meninggalkan tirkah yang cukup untuk membiayai badal hajinya, maka tidak ada yang harus menanggung beban-beban biaya itu, baik ahli warisnya maupun yang lain. Namun, ahli waris atau lainnya sunnah menghajikan/membiayai hajinya mayyit tersebut (Hasyiyah Jamal/2/388).
Syarat Melakukan Badal Haji
Orang yang membadalhajikan harus sudah pernah haji terlebih dahulu, sebagaimana pendapat mazhab Syafi'i dan mazhab Hanbali, bahwa orang yang akan menghajikan orang lain harus sudah haji untuk dirinya. Jika dia belum haji, maka tidak sah menghajikan orang lain.
Meski demikian, menurut mazhab Hanafi dan Maliki, bahwa orang yang belum haji boleh menghajikan (membadalhajikan) orang lain dan sah menurut hukum, tetapi orang tersebut berdosa karena belum haji untuk dirinya (Muhammad Ahmad, Fiqh al-Haj wa al-'Umrah wa al-Ziyarah, hlm. 39).
Tata Cara Badal Haji
Tata cara/kaifiyah pelaksanaan badal haji sama dengan pelaksanaan haji untuk diri sendiri kecuali ketika niat harus niat badal untuk seseorang (alhajju 'an ...). Namun, terkait miqat badal haji, para fuqaha berbeda pendapat, antara lain:
- Mazhab Hanbali berpendapat, bahwa orang yang membadalkan haji, wajib memulai ihramnya dari miqat negeri orang yang dibadalkan, kecuali biaya untuk badal haji tidak mencukupi, maka boleh dari miqat mana saja yang mudah.
- Imam Atha' bin Rabah berpendapat, jika orang yang nazar tidak berniat dari suatu tempat, maka orang yang akan membadalkan haji dapat memulai niat ihram dari miqatnya.
- Imam Syafi'i menyatakan, bahwa orang yang berkewajiban haji pertama kali (hijjatul Islam), tetapi diupahkan kepada orang lain, maka orang yang membadalkan harus berniat dari miqatnya orang yang dibadalkan (Abu Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisi, alMughni, Juz V, hlm. 120-123).
Lafal Niat Badal Haji
Baca Juga : Lepas Calon Jemaah Haji, Bupati Mas Rio: Tolong Doakan Kabupaten Situbondo Agar Lebih Baik
Dilansir dari laman nu online, berikut ini adalah niat badal haji yang dapat dibaca saat melakukan badal haji untuk orang lain.
نَوَيْتُ الحَجَّ عَنْ فُلَانٍ وَأَحْرَمْتُ بِهِ للهِ تَعَالَى
Nawaytul hajja ‘an fulān (sebut nama jamaah haji yang dibadalkan) wa ahramtu bihī lillāi ta‘ālā.
Artinya, “Aku menyengaja ibadah haji untuk si fulan (sebut nama jamaah yang dibadalkan) dan aku ihram haji karena Allah ta‘ala.”
Sedangkan berikut ini adalah lafal alternatif niat badal haji:
نَوَيْتُ الحَجَّ وَأَحْرَمْتُ بِهِ للهِ تَعَالَى عَنْ فُلَانٍ
Nawaytul hajja wa ahramtu bihī lillāi ta‘ālā ‘an fulān (sebut nama jamaah haji yang dibadalkan).
Artinya, “Aku menyengaja ibadah haji dan aku ihram haji karena Allah ta‘ala untuk si fulan (sebut nama jamaah yang dibadalkan).”
Hukum Badal Haji
Masih dari sumber yang sama, bagi sebagian ulama seperti mazhab Syafi’i berlaku dan sah menurut syariat. Sebuah hadits shahih menceritakan seorang perempuan dari Khats’am yang meminta izin pembadalan haji kepada Rasulullah SAW:
يا رسول الله إن فريضة الله على عباده فى الحج ادركت أبى شيخا كبيرا لا يثبت على الراحلة افأحج عنه؟ قال نعم (متفق عليه
Artinya, “’Wahai Rasulullah, sungguh kewajiban haji berlaku atas hamba-hamba Allah. Saya menjumpai bapak saya telah tua dan tidak mampu duduk di atas kendaraan. Apakah saya mengerjakan haji atas namanya?’ Rasulullah menjawab, ‘ya,’” (Muttafaq alaih).